Minggu, 24 Februari 2013
Liputan Khusus Kontan 29 Agustus 2012. Sukses dan nama besar Warren Buffet
di dunia investasi menuai kekaguman dari pemain saham di penjuru dunia.
Tak sedikit investor yang menjadikan Buffet sebagai panutan,
mempelajari strategi investasinya, dan menerapkannya. Di Indonesia,
salah satu yang terinspirasi oleh Buffet adalah Lo Kheng Hong.
Pria
berusia 53 tahun ini berpegang pada metode analisis fundamental Buffet.
Ia tak bergeming dan tak pernah sekali pun mencoba jurus investasi
saham lain.
Bagi Lo, Buffet adalah gurunya. Ia hafal di luar kepala banyak petuah Buffet, kisah hidup
sang maestro, bahkan menghormati prinsip hidupnya. Rupanya tak sia-sia Lo membaca puluhan buku ‘ajaran’ Buffet, ia menarik pelajaran dari situ dan hasilnya? Lo telah memetik keuntungan besar dari bursa saham. Keuntungannya dari saham berlipat ribuan persen.
sang maestro, bahkan menghormati prinsip hidupnya. Rupanya tak sia-sia Lo membaca puluhan buku ‘ajaran’ Buffet, ia menarik pelajaran dari situ dan hasilnya? Lo telah memetik keuntungan besar dari bursa saham. Keuntungannya dari saham berlipat ribuan persen.
Nafkah
hidupnya pun hanya berasal dari saham. Ia mengaku tak punya usaha atau
pekerjaan apapun selain berinvestasi saham. Tak heran, pelaku bursa
banyak menjuluki ayah dua orang anak ini sebagai Warren Buffet-nya
Indonesia.
Simak kisah, pandangan hidup, dan strategi investasi Lo dari pengakuannya sendiri kepada KONTAN berikut.
Saya ini hanya seorang investor, 100% uang saya taruh di saham.
Jadi
saya tidak bekerja dan saya tak punya kantor. Saya hanya punya satu
sopir untuk mengantar-antar saya dan dua pembantu di rumah. Saya bangga
jadi investor saham. Kalau ...>>>
mengisi formulir, misalnya di bank pun, saya selalu tulis profesi saya investor saham.
mengisi formulir, misalnya di bank pun, saya selalu tulis profesi saya investor saham.
Saya
ini sudah berinvestasi saham selama 23 tahun. Tentu saja tidak semua
investasi saya berhasil, saya pernah jatuh. Saya juga tidak langsung
pintar.
Semakin lama
orang bermain saham, dia bisa belajar dari kesalahannya dan akan
semakin terlatih. Saya percaya, orang yang berhasil itu adalah orang
yang jatuh tapi bangun lagi.
Pertama
kali saya membeli saham tahun 1989. Berapa modal awal saya? Nol. Waktu
itu saya masih karyawan Bank Ekonomi, jadi saya hanya menyisihkan
sedikit demi sedikit dari gaji saya. Kalau orang lain membelanjakan
penghasilannya untuk macam-macam, saya belanjakan sebagian gaji setiap
bulan untuk membeli saham.
Saya ingat, di awal saya invest, saya mengantre untuk membeli saham penawaran perdana (IPO) PT Gajah Surya Multifinance. Antrenya panjang sekali. Saya semangat membeli, eh nggak tahunya begitu listing saham itu jeblok. Hahaha...
Tapi
saya tetap yakin dan terus berinvestasi sampai akhirnya pendapatan dari
saham bisa menghidupi saya. Ketika saya sudah merasa cukup, pada tahun
1996, saya berhenti dari Bank Ekonomi pada saat saya sudah jadi Kepala
Cabang.
Ada empat alasan kenapa saya memilih menjadi investor saham.
Pertama,
investor saham bisa menjadi orang terkaya di dunia. Contohnya? Ya,
Warren Buffet. Saya belajar dari dia. Selama 10 tahun terakhir ini, saya
sudah baca 40-an buku tentang Buffet. Buku itu tak hanya saya baca
sekali, tapi saya ulangi dua tiga kali, benar-benar saya pahami isinya.
Kedua,
keuntungan perusahaan itu hak si pemegang saham. Bayangkan, yang
bekerja direksi dan karyawan, tapi begitu untung yang menerima pemegang
saham. Enak kan? Membeli perusahaan yang untung besar itu seperti
membeli mesin pencetak uang.
Ketiga,
dalam jangka panjang imbal hasil saham lebih tinggi dari instrumen
investasi lainnya, seperti obligasi, emas, dan properti.
Keempat,
jadi investor itu waktu luangnya banyak. Anda tahu, di dunia ini ada
empat macam manusia. Tipe pertama, orang yang punya banyak waktu tapi
tidak punya uang. Contohnya, orang pengangguran.
Tipe
kedua, yang punya banyak uang tapi tidak punya waktu. Yang ini
biasanya para pengusaha. Lalu tiga, orang yang tidak punya waktu dan
tidak punya banyak uang juga. Ini kebanyakan para pegawai yang bergaji
kecil.
Tipe
terakhir, orang yang punya waktu dan punya uang. Tipe terakhir inilah
yang saya inginkan sebagai investor saham. Orang bilang, time is money. Buat saya tidak, waktu lebih berarti dari uang. Uang bisa dicari, tapi uang tidak bisa mengembalikan waktu.
Sekarang saya merasa punya banyak waktu. Saya bisa travelling menjelajahi berbagai kota di lima benua. Sekali saya pergi, tidak sebentar lho, saya bisa tinggal sampai sebulan di sana.
Tapi
saya juga memanfaatkan waktu saya untuk membaca. Setiap pagi, bangun,
lalu saya pergi ke taman, duduk membaca dan berpikir. Itu hobi saya.
Laporan keuangan itu makanan sehari-hari. Saya juga berlangganan empat
koran, tiga di antaranya koran bisnis termasuk KONTAN. Semuanya saya
baca dari halaman satu sampai habis.
Sering
saya baru mandi jam satu, kemudian keluar, kadang pergi ke sekuritas.
Saya ini manusia gaptek. Saya tidak punya laptop, tidak mengerti apa itu
email atau internet apalagi online trading. Jadi saya membeli saham
selalu lewat telepon kepada beberapa sekuritas. Saya tidak takut
kehilangan momentum meskipun membeli lewat telepon, kan saya bermain saham untuk jangka panjang.
Dalam berinvestasi, saya berusaha membeli perusahaan yang bagus di harga murah dan saya simpan.
Saya punya lima kriteria untuk membeli perusahaan publik.
Pertama,
lihat manajemennya apakah dikelola orang yang jujur, profesional,
berintegritas, dan saya kagumi. Jarang sekali orang membeli saham dengan
melihat ini, biasanya orang hanya lihat laporan keuangan. Tapi bagi
saya, kalau dalam properti itu ada istilah lokasi, lokasi, lokasi, dalam
ekuiti itu harus manajemen, manajemen, manajemen.
Kedua,
perhatikan usahanya. Di masa depan akan seperti apa bisnis itu? Memang,
hari esok itu misteri. Tapi saya sendiri berpendapat, masa depan itu
ditentukan juga dari masa lalu. Bagi perusahaan yang sudah memenuhi
syarat pertama tadi, kita bisa lihat masa lalunya dalam jangka panjang
misalnya 5-10 tahun ke belakang. Kalau itu untung, kemungkinan ke depan
juga akan untung.
Ketiga, cari perusahaan yang labanya besar. Hitung berapa besar profit margin-nya dan return on equity-nya (laba per saham).
Keempat, pilih perusahaan yang terus bertumbuh dalam jangka panjang.
Kelima, cermati valuasi dari PER (price earning ratio) atau PBV (price to book value),
bandingkan dengan kompetitornya. Belilah yang murah. Kesempatan emas
untuk membeli saham bagus dengan harga murah tentu saja di tengah
kondisi krisis. Saya selalu ikuti prinsip Buffet, be greedy when the others are fearful.
Dengan lima prinsip sederhana itu nyatanya saya berhasil.
Pada
tahun 2005, saya membeli saham PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk
(MBAI). Waktu itu harga perusahaan ternak ayam terbesar kedua di
Indonesia ini baru Rp 250 per saham. Saya kumpulkan pelan-pelan sahamnya
sampai akhirnya punya 8,29% saham. Tahun lalu, harga sahamnya sudah
mencapai Rp 31.500, jadi naik 12.600%. Keuntungan itu saya realisasikan.
Saham itu saya jual karena dia akan merger dengan PT Japfa Comfeed Tbk
(JPFA).
Saya
juga pernah punya saham PT Timah Tbk (TINS). Saya beli di tahun 2002
seharga Rp 285. Dalam dua tahun harganya naik ke Rp 2.900. Saya jual,
tapi setelah saya lepas, dia terbang lebih tinggi lagi. Waktu itu ilmu
memang belum tinggi. Begitu harga saham naik banyak, saya gemetar.
Menyesalkah
saya? Begini, kalau investor saham tidak bijak, maka seluruh hidupnya
akan berisi penyesalan. Jual sekarang, besok harga lebih tinggi lagi.
Tahan, enggak tahunya harga turun terus.
Selain
dua saham itu, saya pernah mendapat keuntungan cukup besar dari PT
United Tractors Tbk (UNTR), PT Gadjah Tunggal Tbk (GJTL), PT Charoen
Pokphan Tbk (CPIN), PT Polychem Indonesia Tbk (ADMG), PT Japfa Comfeed
Tbk (JPFA), PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK).
Sekarang,
portofolio saya berisi sekitar 20-an saham dengan jumlah saham maksimal
4%. Tidak banyak kelihatannya, tapi rata-rata perusahaan besar. Saya
juga merotasinya. Kalau ketemu satu perusahaan bagus, maka saya cari
mana di portofolio yang sudah menurun dan saya buang satu juga.
Saya juga pernah rugi.
Saya pernah rugi karena margin. Makanya sejak tahun 1998 saya enggak pernah memakai fasilitas margin lagi.
Saya
sekarang bebas utang. Pernah dengar kisah Jesse Livermore? Dia salah
satu investor yang sangat sukses di jaman dulu. Dari tukang tulis papan
bursa dia investasi saham dan jadi investor besar. Tapi dia berutang dan
akhirnya ketika investasinya gagal, dia bunuh diri.
Saya
tidak mau seperti itu. Kalau tidak punya utang, meskipun saham saya
hancur, saya tidak apa-apa. Saya masih punya saham itu yang ke depan
juga bisa naik lagi.
Karena
itu, meskipun harga saham jatuh dan uang saya tinggal 15%, saya tetap
membeli saham. Tentu saja istri tidak tahu...ha ha ha. Saya membeli
saham United Tractors (UNTR), saham bagus yang harganya sudah murah
sekali. Waktu itu pernah jatuh sampai Rp 125, tapi saya baru masuk di Rp
250. Padahal, laba operasi per sahamnya sudah 7.800.
Saya
belikan semua sisa uang saya untuk satu saham itu. Dan benar, UNTR naik
terus. Pada tahun 2004, saya akhirnya jual. Waktu itu harga UNTR Rp
1.350, tapi ini harga sesudah stock split. Kalau dihitung itu kira-kira
setara Rp 15.000, jadi saya untung sekitar 6.000%.
Saya ini tidak sama dengan investor saham umumnya.
Saya
tidak suka mengejar dividen. Menurut saya, lebih baik saya investasi
pada perusahaan yang menggunakan devidennya sebagai modal kerja. Itu
akan lebih memberi saya keuntungan.
Saya
juga tidak mengejar saham-saham IPO. Dari pengalaman, kalau kita beli
saham IPO, ketika sahamnya naik ternyata kita cuma dikasih beberapa lot
saja. Tapi kalau jeblok, seringnya kita pesan berapa pun dikasih.
Saat ini, saya melihat IHSG bagus, sudah di atas 4.000 di kondisi krisis seperti ini.
Tapi
bukan berarti semuanya mahal. Makanya investor harus melakukan
pekerjaan rumahnya, risetlah mana yang masih murah. Saya sendiri
sekarang memiliki saham di sektor perbankan, consumer goods, peternakan,
sawit, bahkan batubara.
Sejauh
ini, saya masih bermain saham di bursa dalam negeri. Tapi bulan depan
saya rencananya akan pergi ke Yunani. Saya akan mendalami bursa di sana,
pasti banyak saham bagus yang harganya murah. Ini kesempatan.
Terakhir, saran saya bagi investor sekarang: kerjakan PR.
Berapa
banyak dari investor yang masih baca laporan keuangan? Berapa yang
melakukan analisis fundamental? Membeli saham perusahaan tanpa melihat
lima hal dasar yang saya sebut tadi itu dan hanya melihat chart menurut
saya tidak benar, keliru, dan menyesatkan. Investor harus tahu apa yang
dia beli.
Main
saham itu juga bukan perkara hoki. Tuhan itu maha pengampun, tapi bursa
saham tidak punya belas kasihan pada orang yang tidak tahu apa yang dia
beli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar