Senin, 19 Mei 2014

Jokowi - JK: Confirmed!

Analisis Saham Independen


Posted: 19 May 2014 09:22 AM PDT
Salah satu isu terpenting setelah majunya Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden adalah tentang siapa tokoh yang akan dipilih sebagai calon wakil presidennya. Dan setelah berkali-kali ditunda, hari ini akhirnya diumumkan bahwa tokoh tersebut adalah Jusuf Kalla atau JK. Kebetulan, jika melihat track recordnya yang sangat baik selama menjadi wakil presiden RI pada periode 2004 – 2009, JK adalah tokoh yang memang diinginkan oleh pasar. Alhasil sejak jumat kemarin dan juga berlanjut pada hari ini, IHSG melompat naik dan sekarang sudah berada di level 5,000-an kembali. Pertanyaannya tentu saja, what’s next?

Pada artikel berjudul Jokowi, ARB, atau Prabowo?, penulis mengatakan bahwa dari tiga calon presiden yang ada, hanya Jokowi yang kemungkinan akan membawa dampak positif bagi pasar saham termasuk IHSG andaikata ia yang terpilih sebagai Presiden. However, perolehan suara PDI-P di Pemilu Legislatif yang tidak sampai 20% menyebabkan Jokowi harus berkoalisi dengan partai-partai lain, yang itu berarti Jokowi tidak bisa memilih wakil presidennya sendiri, seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memilih Boediono sebagai wakil presiden di tahun 2009. Masalahnya tentu, bagaimana jika wakil presiden itu merupakan figur yang tidak disukai pasar? Termasuk, beberapa waktu lalu sempat mencuat isu bahwa wakil presiden tersebut adalah Puan Maharani, atau bahkan Aburizal Bakrie (yang setelah menyadari bahwa elektabilitasnya rendah, ARB kini tidak keberatan kalau hanya jadi cawapres).

Tapi untunglah, akhirnya tetap JK yang terpilih, meski itu artinya yang bersangkutan harus keluar dari Golkar karena ARB sebagai Ketua Umum Golkar secara jelas menyatakan bahwa Partai Golkar hanya boleh mendukung dirinya entah sebagai capres ataupun cawapres.

Sekilas, pasangan Jokowi-JK ini akan menang mudah bahkan meski tidak memperoleh dukungan dari partai besar yang satunya lagi, yakni Golkar. Namun ancaman terbesar tentu datang dari pasangan capres-cawapres yang satunya lagi: Prabowo – Hatta. Kalau anda perhatikan, terlepas dari Hatta Radjasa yang tampaknya bukan siapa-siapa, elektabilitas Prabowo terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini, dan itu bukan tanpa alasan. Salah satu masalah pada kubu Jokowi adalah fakta bahwa berbeda dengan Prabowo yang merupakan orang nomor satu di Partainya, Jokowi hanyalah seorang kader partai di PDI-P, dimana posisinya jauh dibawah pimpinan partai, yakni Megawati.

Dan bisakah anda bayangkan, Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden yang masih punya pimpinan lagi diatasnya? Setelah keluar dari Golkar, JK otomatis bukan lagi bawahan dari ARB atau siapapun, sehingga ia merupakan pihak yang independen. Sementara Jokowi? Well, beliau adalah, suka atau tidak, merupakan bawahan dari Megawati. Penulis pribadi tidak begitu peduli soal ini, namun bagi beberapa orang, ini adalah masalah yang tidak bisa diabaikan. Ada banyak pendukung Jokowi yang kemudian pindah mendukung Prabowo setelah Megawati sendiri menegaskan bahwa Jokowi hanyalah seorang ‘petugas partai.’

Sementara Prabowo, dari berbagai kampanyenya jelas menunjukkan bahwa ia adalah calon Presiden yang kuat, berwibawa, dan tidak bisa diatur-atur oleh siapapun. Dan bagi sebagian orang ini adalah kriteria pemimpin yang ideal, yang justru tidak ada pada diri Jokowi.

Intinya sih, hasil Pilpres pada Juli (jadinya Juli, bukan September) nanti sama sekali tidak bisa diprediksi dimana Prabowo jelas masih memiliki peluang, tinggal bagaimana ia dan timnya mampu memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk kampanye dll. Pasangan capres-cawapres yang satunya lagi, yakni ARB – Pramono Edhie (jika memang jadi dimajukan), mungkin saja bisa menjadi faktor penentu dimana jika Pilpres-nya berlangsung dua putaran, maka peluang Jokowi akan menjadi lebih kecil lagi jika ARB kemudian bergabung dengan kubu Prabowo (dan kemungkinannya memang demikian, sebab jika dilihat dari sejarahnya, Golkar sulit sekali berkoalisi dengan PDI-P, sementara Prabowo dulunya adalah kader Golkar).

Lalu bagaimana dengan IHSG?

Setelah JK resmi menjadi cawapres bagi Jokowi, asing kembali berebut masuk ke bursa, sehingga jumlah dana asing yang masuk ke BEI pada saat ini sudah menembus Rp40 trilyun, atau terbesar sepanjang sejarah mengingat jumlah dana asing terbesar yang masuk ke pasar saham Indonesia adalah Rp32.6 trilyun pada tahun 2007, dan faktanya sekarang baru bulan Mei. Hal ini tentu menimbulkan sedikit kekhawatiran karena kalau asing ini keluar separuhnya saja, maka IHSG dalam jangka pendek akan langsung turun. IHSG sendiri sejauh ini sudah naik 18% dihitung sejak awal tahun 2014, atau tertinggi sejak kenaikan 46.1% pada tahun 2010. Jadi yap, pada saat ini pasar memang sedang dalam kondisi yang optimis dalam menyambut calon pemimpin baru.

Tapi bagaimana kedepannya? Atau paling tidak hingga akhir tahun 2014 ini? Diluar faktor euforia Pilpres, yang mungkin bisa kita cermati adalah bahwa pada Kuartal I 2014 kemarin, perusahaan-perusahaan papan atas di BEI (saham-saham bluechip) mencatatkan kinerja yang terbilang baik meski pada tahun 2013 lalu Indonesia dihantui oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sementara dua sektor yang menjadi primadona pasar di masa lalu namun justru menjadi penghambat kenaikan IHSG dalam dua tahun terakhir, yakni sektor tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit, pada tahun 2014 ini mulai menunjukkan perbaikan, dan saham-saham batubara sejauh ini juga mulai bergerak naik menyusul saham-saham perkebunan kelapa sawit yang sudah naik sebelumnya. Kemudian sektor properti, meski kinerjanya banyak yang turun pada awal tahun 2014 ini, namun karena sejak awal saham-saham di sektor ini rata-rata masih murah, maka hal ini tidak menyebabkan saham-saham properti menjadi turun (sektor properti sejak awal tahun 2014 sudah naik 32.3%, tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya). Dan sektor konstruksi, kinerjanya pada tahun 2014 ini relatif masih baik, dan ditambah dengan outlook jangka panjangnya yang juga masih baik seiring dengan banyaknya proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia, maka alhasil saham-saham di sektor ini juga langsung naik lagi (tapi mereka jadinya mahal lagi).

Kesimpulannya, terlepas dari euforia Pilpres yang lagi ramai belakangan ini, kinerja para emiten memang mendukung IHSG untuk naik tinggi, dan memang IHSG, seperti sudah disebut diatas, sejauh ini sudah naik 18% sejak awal tahun. Untuk naik lebih tinggi lagi sebenarnya mungkin saja, mengingat euforia Pilpres yang terjadi pada saat ini kemungkinan akan bertahan hingga Pilpres-nya itu sendiri digelar pada Juli nanti, apalagi jika Jokowi akhirnya benar-benar terpilih sebagai Presiden.

Namun secara historis, IHSG selalu mengalami koreksi minimal setahun sekali dimana bulan Mei dan seterusnya merupakan periode yang rawan terjadi koreksi tersebut. Kalau pada tahun 2010 dan 2012 koreksi IHSG terjadi pada bulan Mei, maka pada tahun 2011 koreksi tersebut terjadi pada bulan Agustus, dan pada tahun 2013 terjadi pada bulan Juni. Tahun 2014 ini mungkin akan jadi pengecualian dimana cerita ‘Sell in May and Go Away’ ternyata tidak terjadi, tapi itu berarti pertanyaan selanjutnya adalah, kapan koreksi tersebut akan terjadi?

Tapi kapanpun koreksi itu akan terjadi, atau malah tidak terjadi sama sekali, namun itu seharusnya tidak jadi masalah karena toh pada akhirnya indeks akan terus naik dalam jangka panjang. Namun satu hal yang mungkin perlu dicatat disini adalah, disadari atau tidak, Pemerintahan Presiden SBY sepanjang 10 tahun terakhir (2004 – 2014) telah sukses membawa IHSG untuk naik hingga lima kali lipat, dari 1,000-an pada awal tahun 2004 menjadi sekarang sudah tembus 5,000-an, dimana kenaikan tersebut memang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, dan itu bahkan sudah termasuk periode krisis tahun 2008. Dan penulis kira akan sulit bagi Presiden berikutnya nanti, entah itu Jokowi ataupun Prabowo, untuk bisa mencatatkan prestasi yang serupa dengan membawa IHSG naik hingga 400% dalam sepuluh tahun. Jangan salah, berbagai kinerja cemerlang yang dicapai oleh Astra International dkk, itu semua tidak akan terealisasi jika kondisi perekonomian nasional itu sendiri morat marit bukan?

Nah, sebenarnya untuk minggu ini penulis hendak menulis analisis saham atau materi edukasi investasi seperti biasa, namun cerita soal Pilpres ini memang terlalu menarik untuk tidak dibicarakan termasuk oleh kita semua sebagai investor saham. So, dengan ini penulis hendak melakukan survei kecil, dimana anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Menurut anda siapa yang akan memenangkan Pilpres nanti? Apakah Jokowi atau Prabowo? Atau malah ARB?
  2. Kemudian, bagaimana kira-kira reaksi pasar terhadap kemenangan Jokowi/Prabowo?
  3. Dan dalam jangka panjang, let say lima tahun kedepan, bagaimana kira-kira kinerja presiden baru kita nanti terhadap perekonomian nasional?
Update: Di saat-saat terakhir, Golkar resmi merapat ke Gerindra! Dengan demikian Pilpres mendatang bisa dipastikan akan menjadi pertarungan antara Jokowi vs Prabowo saja, dan kali ini kekuatan kedua kubu cenderung imbang, bahkan Prabowo sedikit lebih unggul karena didukung oleh enam parpol, sementara Jokowi hanya empat. Well, semakin seru saudara-saudara!

Buku kumpulan analisis saham kuartalan edisi Kuartal I 2014 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.