Anda mungkin sudah
mengetahui bahwa pak Lo Kheng Hong, investor perorangan paling terkenal
di Indonesia, saat ini sedang dalam posisi yang nyangkut parah di BUMI.
Dan penulis sudah menerima cukup banyak email dari teman-teman yang
menanyakan hal ini, karena pak LKH notabene salah satu mentor saya juga.
Kebanyakan dari email tersebut bertanya apa alasan LKH membeli BUMI,
namun ada juga yang cenderung mengkritik, dengan mengatakan bahwa LKH
kali ini keliru besar telah membeli BUMI. Nah, berikut ini adalah
beberapa hal yang penulis bisa sampaikan, terkait apa yang penulis bisa
pahami dari jalan pikiran seorang LKH, sehingga beliau akhirnya
memutuskan untuk membeli BUMI. Here we go:
Pertama,
LKH membeli BUMI, termasuk juga membeli beberapa saham-saham Bakrie
lainnya, bukan karena ikut-ikutan apalagi karena memperoleh bisikan
bandar, melainkan karena pertimbangannya sendiri, yang dibuat secara
mendetail, hati-hati, dan menggunakan asumsi-asumsi yang konservatif.
Bagi seorang value investor seperti beliau, pertimbangan utamanya selalu
sederhana: Sebuah saham, entah itu saham perusahaan batubara atau
lainnya, menjadi layak beli jika harganya jauh lebih rendah dibanding nilai riil/nilai intrinsik
perusahaannya. BUMI pada harga 8,000, 5,000, atau 3,000 mungkin tidak
menarik. Tapi bagaimana kalau 1,000? Nah, mungkin ceritanya baru
berbeda. Tapi setelah dibeli di harga 1,000, selanjutnya dia malah turun
lagi sampai 300, gimana tuh? Ya biarin aja. Pada tahun 1972, Warren
Buffett pernah membeli saham The Washington Post pada harga tertentu
yang ia anggap sudah sangat terdiskon. Namun bukannya naik, setahun
kemudian saham tersebut malah anjlok hingga lebih dari separuhnya, but
still, Buffett tetap meng-hold-nya. Hingga akhirnya, sekitar dua belas
tahun kemudian, saham The Washington Post naik dua puluh lima kali lipat!
Kemungkinan LKH juga belajar dari pengalaman Buffett tersebut, dimana
beliau tidak peduli meski harus menunggu selama dua belas tahun
sekalipun, termasuk harus nyangkut gila-gilaan, asalkan pada akhirnya
bisa memperoleh keuntungan sebesar sekian kali lipat, dan bukan lagi
sekedar sepuluh atau dua puluh persen.
Sekedar
catatan, LKH nggak pernah bilang beliau beli BUMI di average berapa,
tapi kemungkinan sekitar 1,000-an. Dan jika average beliau memang di
1,000-an, maka di harga itulah beliau menganggap bahwa BUMI ini cukup
murah, namun harap catat pula bahwa anggapan tersebut tentunya bisa saja
keliru. LKH sendiri pernah bilang ke saya bahwa dia juga bukannya nggak
bisa salah dalam memilih saham.
Kedua,
LKH membeli BUMI bukan ketika saham ini sedang populer-populernya,
melainkan justru ketika ia kehilangan gelarnya sebagai saham sejuta
umat, sekitar akhir tahun 2012 lalu, termasuk ketika semua orang (pada
akhirnya) menganggap bahwa saham-saham Bakrie itu sampah. Hal ini juga
sejalan dengan apa yang dicontohkan oleh Buffet. Tahun 1964, saham
American Express (AXP) jatuh berantakan setelah perusahaan tersangkut
sebuah skandal yang menyebabkannya merugi sekitar US$ 150 juta, atau
sekitar US$ 1 milyar pada saat ini. Yap, ketika itu AXP tidak sekedar
jatuh sahamnya, melainkan perusahannya juga merugi dan AXP seketika
berubah status dari saham pujaan para investor, menjadi sebuah saham
yang mewakili sebuah perusahaan yang diprediksi bakal segera bangkrut.
But you know what? Ketika AXP sudah turun sampai pada harga tertentu,
justru ketika itulah Buffett masuk secara besar-besaran! Sudah tentu,
AXP tidak langsung naik, melainkan sempat juga melanjutkan penurunannya.
Namun pada akhirnya dia naik juga, dan AXP kemudian menjadi salah satu
saham paling sukses di portofolio Berkshire Hathaway, hingga saat ini.
Dan
jika anda perhatikan, perilaku value investor itu memang begitu: Dia
masuk justru ketika orang lain keluar. Dia membeli saham bagus yang
orang lain menganggapnya sampah, dan dia menyukai saham-saham yang
justru tak seorangpun mau menyentuhnya. Tapi percaya atau tidak, justru
strategi ‘kontrarian’ seperti inilah yang terbukti sukses bagi banyak
investor kenamaan, termasuk LKH itu sendiri.
Nah,
dalam hal ini penulis tidak mengatakan bahwa BUMI pada akhirnya akan
naik juga, karena kita nggak akan tahu soal itu. Namun jika dibandingkan
dengan Berlian Laju Tanker (BLTA),
misalnya, yang perusahaannya memang bermasalah dengan hutang-hutangnya
sehingga harus melego aset-asetnya, bahkan memang nyaris bangkrut (atau
memang sudah?), atau jika dibanding Dayaindo Resources (KARK),
maka BUMI ini masih beroperasi dengan normal sampai sekarang, termasuk
produksi batubaranya masih meningkat terus. Yap, di laporan keuangannya,
BUMI memang tampak amat sangat buruk dengan posisi ekuitas yang bahkan
sudah minus, alias defisiensi modal (jumlah utangnya sudah lebih besar
dibanding total aset perusahaan). Tapi faktanya di lapangan, perusahaan
masih beroperasi dengan normal, dan tidak ada masalah apapun juga dengan
para kreditor, sehingga bisa jadi justru laporan keuangannya-lah, yang
dengan sengaja dibuat agar tampak jelek. Kemungkinan hal inilah yang
dilihat oleh pak LKH.
Terakhir,
ketiga, masalah terbesar di BUMI tentu saja terletak di manajemennya,
dalam hal ini Grup Bakrie, yang tidak pernah fair terhadap investor
publik. However, posisi LKH sebagai investor besar menyebabkannya
berbeda dengan investor ritel biasa. Jika mau, LKH juga bisa saja
mengajukan diri sebagai komisaris perusahaan, meski itu tidak beliau
lakukan. Jadi dalam hal ini faktor valuasi lebih diperhatikan oleh LKH
ketimbang faktor manajemen, karena tidak seperti investor ritel pada
umumnya, ia berada dalam posisi yang memungkinkannya untuk turut aktif
dalam menentukan arah kebijakan perusahaan. LKH juga berkawan baik
dengan Samin Tan dan beberapa petinggi BUMI, dan penulis kira jika kita
sudah sampai pada posisi ‘ring satu’ seperti itu, maka mau saham yang
bersangkutan jatuh sampai gocap sekalipun gak akan jadi masalah, selama
kita bisa melihat bahwa partner-partner kita di perusahaan masih
bersedia untuk bekerja sama dalam mengelola perusahaan, dan
perusahaannya sendiri memang masih berjalan tanpa ada masalah berarti.
Pada
akhirnya, penulis sendiri sampai detik ini tetap tidak berminat untuk
masuk ke BUMI. Alasannya pertama, karena saya sudah punya planning
investasi sendiri, dan kedua, penulis tidak memiliki cukup aset untuk
bisa mengajak Nirwan Bakrie makan siang, sehingga dalam hal ini posisi
penulis, dan mungkin juga anda, berbeda dengan LKH. Sementara soal
apakah BUMI memang sudah murah dan layak investasi pada harganya saat
ini, itu kita tidak tahu karena BUMI sangat sulit untuk dipelajari kalau
berdasarkan laporan keuangannya semata, tapi yang jelas membeli BUMI di
harga 300 tentu lebih murah ketimbang membelinya di harga 8,000 bukan?
Dan
faktanya hingga saat ini LKH masih dalam posisi meng-hold BUMI,
sehingga ia tidak atau belum menganggap bahwa keputusannya keliru bahkan
meski saham BUMI itu sendiri sudah turun sangat dalam. Sekedar catatan,
bagi investor yang sudah terlanjur dikenal oleh banyak orang seperti
LKH, tekanan psikologis yang dialami seringkali tidak hanya ketika saham
yang dipegangnya turun, namun juga karena adanya banyak kritikan atau
bahkan hujatan dari investor-investor lainnya. Namun toh, LKH tetap
tidak bergeming, dan penulis kira kekuatan mental seperti inilah, sekali
lagi, yang menjadikan LKH besar seperti sekarang.
Jika anda punya pendapat tersendiri tentang 'mantan saham sejuta umat' ini, anda bisa menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.
Jika anda punya pendapat tersendiri tentang 'mantan saham sejuta umat' ini, anda bisa menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.
sumber: Analisa Saham Independen