Selasa, 14 Januari 2014

Lo Kheng Hong dan BUMI

Anda mungkin sudah mengetahui bahwa pak Lo Kheng Hong, investor perorangan paling terkenal di Indonesia, saat ini sedang dalam posisi yang nyangkut parah di BUMI. Dan penulis sudah menerima cukup banyak email dari teman-teman yang menanyakan hal ini, karena pak LKH notabene salah satu mentor saya juga. Kebanyakan dari email tersebut bertanya apa alasan LKH membeli BUMI, namun ada juga yang cenderung mengkritik, dengan mengatakan bahwa LKH kali ini keliru besar telah membeli BUMI. Nah, berikut ini adalah beberapa hal yang penulis bisa sampaikan, terkait apa yang penulis bisa pahami dari jalan pikiran seorang LKH, sehingga beliau akhirnya memutuskan untuk membeli BUMI. Here we go:

Pertama, LKH membeli BUMI, termasuk juga membeli beberapa saham-saham Bakrie lainnya, bukan karena ikut-ikutan apalagi karena memperoleh bisikan bandar, melainkan karena pertimbangannya sendiri, yang dibuat secara mendetail, hati-hati, dan menggunakan asumsi-asumsi yang konservatif. Bagi seorang value investor seperti beliau, pertimbangan utamanya selalu sederhana: Sebuah saham, entah itu saham perusahaan batubara atau lainnya, menjadi layak beli jika harganya jauh lebih rendah dibanding nilai riil/nilai intrinsik perusahaannya. BUMI pada harga 8,000, 5,000, atau 3,000 mungkin tidak menarik. Tapi bagaimana kalau 1,000? Nah, mungkin ceritanya baru berbeda. Tapi setelah dibeli di harga 1,000, selanjutnya dia malah turun lagi sampai 300, gimana tuh? Ya biarin aja. Pada tahun 1972, Warren Buffett pernah membeli saham The Washington Post pada harga tertentu yang ia anggap sudah sangat terdiskon. Namun bukannya naik, setahun kemudian saham tersebut malah anjlok hingga lebih dari separuhnya, but still, Buffett tetap meng-hold-nya. Hingga akhirnya, sekitar dua belas tahun kemudian, saham The Washington Post naik dua puluh lima kali lipat! Kemungkinan LKH juga belajar dari pengalaman Buffett tersebut, dimana beliau tidak peduli meski harus menunggu selama dua belas tahun sekalipun, termasuk harus nyangkut gila-gilaan, asalkan pada akhirnya bisa memperoleh keuntungan sebesar sekian kali lipat, dan bukan lagi sekedar sepuluh atau dua puluh persen.

Sekedar catatan, LKH nggak pernah bilang beliau beli BUMI di average berapa, tapi kemungkinan sekitar 1,000-an. Dan jika average beliau memang di 1,000-an, maka di harga itulah beliau menganggap bahwa BUMI ini cukup murah, namun harap catat pula bahwa anggapan tersebut tentunya bisa saja keliru. LKH sendiri pernah bilang ke saya bahwa dia juga bukannya nggak bisa salah dalam memilih saham.

Kedua, LKH membeli BUMI bukan ketika saham ini sedang populer-populernya, melainkan justru ketika ia kehilangan gelarnya sebagai saham sejuta umat, sekitar akhir tahun 2012 lalu, termasuk ketika semua orang (pada akhirnya) menganggap bahwa saham-saham Bakrie itu sampah. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dicontohkan oleh Buffet. Tahun 1964, saham American Express (AXP) jatuh berantakan setelah perusahaan tersangkut sebuah skandal yang menyebabkannya merugi sekitar US$ 150 juta, atau sekitar US$ 1 milyar pada saat ini. Yap, ketika itu AXP tidak sekedar jatuh sahamnya, melainkan perusahannya juga merugi dan AXP seketika berubah status dari saham pujaan para investor, menjadi sebuah saham yang mewakili sebuah perusahaan yang diprediksi bakal segera bangkrut. But you know what? Ketika AXP sudah turun sampai pada harga tertentu, justru ketika itulah Buffett masuk secara besar-besaran! Sudah tentu, AXP tidak langsung naik, melainkan sempat juga melanjutkan penurunannya. Namun pada akhirnya dia naik juga, dan AXP kemudian menjadi salah satu saham paling sukses di portofolio Berkshire Hathaway, hingga saat ini.

Dan jika anda perhatikan, perilaku value investor itu memang begitu: Dia masuk justru ketika orang lain keluar. Dia membeli saham bagus yang orang lain menganggapnya sampah, dan dia menyukai saham-saham yang justru tak seorangpun mau menyentuhnya. Tapi percaya atau tidak, justru strategi ‘kontrarian’ seperti inilah yang terbukti sukses bagi banyak investor kenamaan, termasuk LKH itu sendiri.

Nah, dalam hal ini penulis tidak mengatakan bahwa BUMI pada akhirnya akan naik juga, karena kita nggak akan tahu soal itu. Namun jika dibandingkan dengan Berlian Laju Tanker (BLTA), misalnya, yang perusahaannya memang bermasalah dengan hutang-hutangnya sehingga harus melego aset-asetnya, bahkan memang nyaris bangkrut (atau memang sudah?), atau jika dibanding Dayaindo Resources (KARK), maka BUMI ini masih beroperasi dengan normal sampai sekarang, termasuk produksi batubaranya masih meningkat terus. Yap, di laporan keuangannya, BUMI memang tampak amat sangat buruk dengan posisi ekuitas yang bahkan sudah minus, alias defisiensi modal (jumlah utangnya sudah lebih besar dibanding total aset perusahaan). Tapi faktanya di lapangan, perusahaan masih beroperasi dengan normal, dan tidak ada masalah apapun juga dengan para kreditor, sehingga bisa jadi justru laporan keuangannya-lah, yang dengan sengaja dibuat agar tampak jelek. Kemungkinan hal inilah yang dilihat oleh pak LKH.

Terakhir, ketiga, masalah terbesar di BUMI tentu saja terletak di manajemennya, dalam hal ini Grup Bakrie, yang tidak pernah fair terhadap investor publik. However, posisi LKH sebagai investor besar menyebabkannya berbeda dengan investor ritel biasa. Jika mau, LKH juga bisa saja mengajukan diri sebagai komisaris perusahaan, meski itu tidak beliau lakukan. Jadi dalam hal ini faktor valuasi lebih diperhatikan oleh LKH ketimbang faktor manajemen, karena tidak seperti investor ritel pada umumnya, ia berada dalam posisi yang memungkinkannya untuk turut aktif dalam menentukan arah kebijakan perusahaan. LKH juga berkawan baik dengan Samin Tan dan beberapa petinggi BUMI, dan penulis kira jika kita sudah sampai pada posisi ‘ring satu’ seperti itu, maka mau saham yang bersangkutan jatuh sampai gocap sekalipun gak akan jadi masalah, selama kita bisa melihat bahwa partner-partner kita di perusahaan masih bersedia untuk bekerja sama dalam mengelola perusahaan, dan perusahaannya sendiri memang masih berjalan tanpa ada masalah berarti.

Pada akhirnya, penulis sendiri sampai detik ini tetap tidak berminat untuk masuk ke BUMI. Alasannya pertama, karena saya sudah punya planning investasi sendiri, dan kedua, penulis tidak memiliki cukup aset untuk bisa mengajak Nirwan Bakrie makan siang, sehingga dalam hal ini posisi penulis, dan mungkin juga anda, berbeda dengan LKH. Sementara soal apakah BUMI memang sudah murah dan layak investasi pada harganya saat ini, itu kita tidak tahu karena BUMI sangat sulit untuk dipelajari kalau berdasarkan laporan keuangannya semata, tapi yang jelas membeli BUMI di harga 300 tentu lebih murah ketimbang membelinya di harga 8,000 bukan?

Dan faktanya hingga saat ini LKH masih dalam posisi meng-hold BUMI, sehingga ia tidak atau belum menganggap bahwa keputusannya keliru bahkan meski saham BUMI itu sendiri sudah turun sangat dalam. Sekedar catatan, bagi investor yang sudah terlanjur dikenal oleh banyak orang seperti LKH, tekanan psikologis yang dialami seringkali tidak hanya ketika saham yang dipegangnya turun, namun juga karena adanya banyak kritikan atau bahkan hujatan dari investor-investor lainnya. Namun toh, LKH tetap tidak bergeming, dan penulis kira kekuatan mental seperti inilah, sekali lagi, yang menjadikan LKH besar seperti sekarang.

Jika anda punya pendapat tersendiri tentang 'mantan saham sejuta umat' ini, anda bisa menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.

NB: Bagi anda yang tinggal di Surabaya dan sekitarnya, penulis menyelenggarakan seminar edukasi saham dengan tema Value Investing for Beginners, pada hari Sabtu, tanggal 25 Januari 2013. Keterangan selengkapnya klik disini.

 sumber:  Analisa Saham Independen

Lo Kheng Hong punya saham PTRO Rp 90,74 miliar

Lo Keng Hong; Saya baru mengoleksi saham PTRO




 Oleh Yuwono Triatmodjo – Senin, 30 Desember 2013 | 07:30 WIB
kontan
JAKARTA. Investor kawakan, Lo Kheng Hong, ternyata mendekap saham PT Petrosea Tbk (PTRO) lumayan besar. Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 24 Desember yang dirilis dalam situs Bursa Efek Indonesia Jumat (27/12), mencatat Lo Kheng Hong menguasai 77.557.000 saham PTRO.
Jumlah tersebut setara 7,69% dari total saham PTRO yang ditempatkan dan disetor penuh. Pada penutupan perdagangan Jumat, harga saham PTRO berada di posisi Rp 1.170 per saham. Jika mengacu pada harga tersebut, maka total nilai investasi Lo Kheng Hong mencapai angka Rp 90,74 miliar.
Sebagai catatan, kinerja keuangan PTRO per September 2013 memang kurang menggembirakan. Pendapatannya turun 5,62% year on year (yoy) menjadi US$ 271,97 juta, dari sebelumnya US$ 288,15 juta. Sementara laba bersih PTRO tergerus dari US$ 36,63 juta menjadi US$ 16,54 juta.
Namun hal tersebut ditangkap LO Kheng Hong justru sebagai sebuah peluang. "Dengan laba per September 2013 yang turun 56%, PER PTRO kini sekitar 4,53 kali. Kalau kinerjanya pulih kembali, PER-nya tentu akan semakin murah," tutur Lo Kheng Hong. Bukan itu saja, rasio harga berbanding nilai buku alias price to book value ratio (PBV) PTRO juga hanya 0,51 kali.

Tak hanya bicara soal valuasi, Lo Kheng Hong juga memberikan perhatian lebih pada tata kelola perusahaan yang baik. "Kalau saya lihat secara kualitatif, pemilik mayoritas saham Petrosea adalah orang baik yang bisa dipercaya. selama ini mereka belum pernah melakukan transaski afiliasi yang umumnya sangat merugikan pemegang saham minoritas," terangnya. Saat ini, INDY menguasai saham PTRO dengan porsi kepemilikan sebanyak 69,80%