Beberapa hari terakhir ini di media-media baik cetak
maupun elektronik, sedang ramai dibicarakan kasus dugaan penipuan investasi
oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah
(GTIS), dengan perkiraan nilai kerugian nasabah hingga Rp600 milyar, tapi
ada juga yang bilang hingga Rp10 trilyun. Manapun yang benar, tetap saja itu
adalah jumlah kerugian yang tidak sedikit. Namun kasus ini adalah yang kesekian
kalinya terjadi di negeri ini, dengan modus yang selalu sama: Penipuan berkedok
investasi dengan iming-iming keuntungan
besar dalam waktu singkat. Nah,
actually kasus ini tidak berkaitan langsung dengan investasi kita di saham, tentu
saja, namun penulis kira tetap penting untuk dibahas untuk memberikan informasi
kepada masyarakat yang mungkin masih awam tentang apa itu investasi. Okay here
we go!
GTIS dulunya merupakan perusahaan jual beli emas biasa dengan nama PT Golden Traders Indonesia (GTI). Pada tahun 2011, perusahaan menambahkan kata ‘Syariah’ di belakang namanya, sehingga berubah menjadi PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Di tahun ini pula, perusahaan (mengaku) memperoleh sertifikat ‘telah memenuhi prinsip syariah’ dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbekal klaim bahwa usahanya ‘halal dan islami’, GTIS kemudian memasarkan produk investasinya melalui berbagai media, terutama melalui sistem referral yaitu setiap nasabah akan diminta untuk mencari nasabah lagi (kurang lebih seperti sistem Multilevel Marketing alias MLM). Dalam tempo singkat yakni hanya 2 tahun, perusahaan ini berkembang sangat pesat dan berhasil mendirikan tiga belas kantor yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Dalam setiap promosinya, GTIS memiliki tagline yang sangat menarik: ‘Udah gak jaman investasi emas hanya mengandalkan fluktuasi harga. Nikmati kepastian keuntungan sebesar 2% setiap bulan hanya di Golden Traders Indonesia’.
Kepastian keuntungan? Are you out of mind? Sejak
kapan ada investasi yang mampu menjamin bahwa investasi tersebut pasti untung
tanpa memaparkan risikonya sama
sekali?
Kembali ke GTIS. GTIS menawarkan produk investasi berupa
pembelian emas, baik fisik maupun hanya berupa sertifikat, dengan tawaran
keuntungan sebesar 2 – 4.5% per bulan, dibayarkan secara tunai. Jadi kalau anda beli produk investasinya
senilai Rp100 juta, misalnya, maka setiap bulan anda akan menerima bunga, atau bonus, atau apapun itu
namanya, sebesar Rp2 – 4.5 juta, ditransfer langsung ke rekening bank anda.
Produk investasi ini dijamin dengan surat perjanjian buy back guarantee, dimana pihak GTIS akan membeli kembali emas
yang dipegang nasabah dengan harga yang sama dengan harga pembelian. So,
katakanlah anda membeli emas dari GTIS senilai Rp100 juta. Maka dalam setahun,
anda akan memperoleh bunga minimal Rp2 juta x 12 bulan = Rp24 juta, dan setelahnya anda bisa menjual emas yang anda pegang
kepada GTIS, untuk memperoleh modal anda kembali yang sebesar Rp100 juta tadi.
Well, dapet keuntungan minimal 24%,
dan tanpa risiko pula, karena emas yang anda pegang dijamin akan bisa dibeli
kembali oleh pihak GTIS. Jadi ‘investasi’ ini kurang menarik apa lagi coba?
Namun ada beberapa hal yang menarik seputar ‘produk
investasi’ yang ditawarkan GTIS ini:
Satu. Nasabah harus membeli emas yang dijual GTIS
pada harga yang lebih tinggi ketimbang harga emas pasaran, dengan selisih harga
sekitar 20 – 30%. Artinya jika harga emas di pasaran adalah Rp500,000 per gram,
maka nasabah harus membayar Rp600 – 650,000 untuk setiap gram emas yang mereka
peroleh. Tidak ada keterangan dari pihak GTIS soal kenapa harga emas yang
mereka jual lebih tinggi. Biasanya mereka (melalui agen-nya) hanya mengatakan
bahwa meski harga emas yang mereka jual lebih tinggi, namun nasabah tidak perlu
khawatir, karena nanti toh GTIS akan membeli kembali emas tersebut pada harga
yang sama, bahkan kalau harga pasaran emas ternyata turun. Selain itu si agen biasanya
menambahkan bahwa harga emas akan naik terus, sehingga si nasabah tidak mungkin
rugi (jadi sekali lagi, risiko investasinya nol!)
Dua. Tidak ada keterangan dari mana pihak GTIS
memperoleh dana untuk membayar bunga bagi para nasabahnya. Berdasarkan
informasi yang dihimpun Kontan.co.id, GTIS mengaku bahwa mereka membeli emas
dengan harga murah dari UBS (Untung Bersama Sejahtera) dan menjualnya di
Singapura dengan harga tinggi. Keuntungan dari selisih harga itulah yang
kemudian dipakai untuk membayar bunga kepada para nasabah. Tapi tidak ada
keterangan lebih lanjut soal siapa itu UBS, dan di Singapura sebelah mana
mereka jualan emas.
Tiga. Nasabah hanya bisa membeli produk melalui
agen. Agen ini biasanya merupakan nasabah GTIS juga, dan ia memperoleh komisi
untuk setiap nasabah baru yang ia bawa. Alhasil jika anda bergabung untuk
menjadi nasabah, maka anda sekaligus akan menjadi agen, dan anda bisa
memperoleh keuntungan tambahan berupa komisi tadi. Tapi kalaupun anda tidak
memperoleh nasabah, maka itu tidak jadi masalah.
Nah, dari ketiga poin diatas, apa yang bisa anda
simpulkan? Benar sekali. GTIS ini menjalankan Skema Ponzi (Ponzi Scheme).
Skema Ponzi adalah sistem investasi
palsu dimana perusahaan investasi membayar keuntungan/bunga kepada investor
dari uang si investor itu sendiri, atau dari uang investor berikutnya.
Dikatakan palsu, karena dana yang dihimpun dari investor tidak pernah digunakan untuk membiayai usaha tertentu untuk
menghasilkan keuntungan. Biasanya investasi ini menawarkan keuntungan yang
luar biasa dalam waktu singkat dengan risiko yang sangat rendah, atau bahkan
risikonya nol. Biasanya pula, si investor atau nasabah akan menerima pembayaran
bunga secara rutin selama beberapa waktu, sehingga ia kemudian merasa tidak ada
masalah sama sekali, atau bahkan menambah kembali investasinya. Tapi setelah ia
menyetor seluruh dana yang ia miliki, dan juga sudah membawa banyak nasabah
baru, maka barulah timbul masalah, mulai dari macetnya pembayaran bunga, hingga
modal yang ternyata tidak bisa ditarik kembali.
Charles Ponzi, pencipta skema Ponzi sekaligus inspirator bagi para bandi-bandit penipu di seluruh dunia. Gambar diambil dari situs Wikipedia |
Sementara di Indonesia, penipuan Skema Ponzi ini
bukan kasus baru, melainkan sudah terjadi berulang kali hanya dengan kemasan
yang berbeda-beda. Sebut saja Tambang Emas Busang, Qurnia Subur Alam Raya,
Dressel, VGMC, Koperasi Langit Biru, Raihan, hingga GTIS. Dalam kasus GTIS,
‘kemasan’ tersebut adalah investasi emas. Bunga yang dibayarkan kepada si nasabah
berasal dari selisih harga emas yang lebih tinggi dibanding harga pasaran tadi.
Definisi Investasi
Dalam beberapa kali kesempatan seminar, penulis
selalu memaparkan kepada peserta mengenai definisi
dari investasi. Simpelnya, investasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis:
Satu, investasi pada aset tetap. Yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset yang harganya terus meningkat untuk
menyesuaikan diri dengan inflasi, namun nilai
dari aset itu sendiri sebenarnya tidak banyak berubah kecuali sedikit. Contohnya
anda membeli tanah kosong seluas 1 hektar dengan harapan bahwa harganya akan
naik dalam beberapa waktu kedepan. Sejatinya, nilai dari tanah tersebut tidak
akan naik, terutama jika tidak dilakukan pengembangan (dibuat bangunan
diatasnya, dll). Namun jika anda beli tanah tersebut pada tahun 1990 pada harga
Rp100 juta, misalnya, maka harganya pada hari ini tidak mungkin masih Rp100
juta juga, melainkan mungkin sudah milyaran.
Dalam definisi investasi yang lebih sempit, maka
tindakan investasi dengan cara membeli tanah diatas tidak bisa disebut sebagai
investasi, melainkan lebih merupakan tindakan melindungi mata uang dari
inflasi. Jika tanah yang bersangkutan dikembangkan menjadi rumah kontrakan,
misalnya, dan rumah kontrakan tersebut memberikan keuntungan berupa uang sewa
setiap bulannya, maka itu baru bisa disebut sebagai investasi, karena aset
tanah/rumah kontrakan tersebut kini memberikan ‘dividen’ berupa uang sewa
bulanan tadi. But still, inipun belum merupakan ‘investasi penuh’, karena tidak
menawarkan kenaikan nilai aset
(jumlah kamar kontrakan tidak akan bertambah), kecuali jika anda secara rutin
membangun kamar kontrakan yang baru.
Lalu yang kedua, investasi pada aset bertumbuh. Jika anda membeli kambing untuk diternakkan
(tentunya setelah anda menunjuk peternak yang handal), maka itu bisa disebut
sebagai investasi pada aset bertumbuh, karena jumlah kambing anda akan
meningkat seiring dengan berjalannya waktu (beranak pinak). Investasi seperti
inilah yang menurut penulis bisa disebut sebagai The Real Investment, karena memberikan dua macam keuntungan yakni:
Dividen (setiap kali anda memperoleh uang dari penjualan seekor kambing), dan
kenaikan nilai aset (jumlah kambing anda akan terus bertambah). Tidak perlu
lagi ditanyakan keuntungan dari kenaikan harga aset, karena harga jual dari
kambing anda akan terus naik setiap tahun (ini pengalaman penulis sendiri
setiap kali nyari kambing buat merayakan Idul Adha).
Meski demikian investasi anda pada usaha ternak
kambing tersebut mengandung beberapa risiko yang bisa menyebabkan penurunan
pada nilai investasi anda (baca: kerugian).
Misalnya peternak yang anda tunjuk ternyata tidak cukup mahir, terjadi wabah
penyakit yang menyebabkan cacat pada ternak atau bahkan kematian, kenaikan
harga pakan, hingga penurunan harga jual kambing karena persaingan dengan
peternakan lain. Intinya, dibalik potensi keuntungan yang mungkin diraih dalam
investasi peternakan kambing diatas, terdapat unsur risiko yang tidak bisa diabaikan. Dan memang begitulah,
faktor potensi keuntungan sekaligus risiko kerugian merupakan dua sisi mata
uang yang tidak pernah bisa dipisahkan dalam setiap kegiatan berinvestasi,
apapun bentuknya.
Unsur risiko yang kita bahas diatas juga terdapat
dalam investasi pada aset tetap. Bedanya, dalam berinvestasi pada aset tetap,
unsur risiko tersebut jauh lebih rendah meski bukan berarti tidak ada sama
sekali. Ketika anda beli tanah, maka harganya tidak akan turun kecuali jika
terjadi gempa bumi, banjir, atau krisis moneter, tapi disisi lain keuntungan
yang ditawarkan juga hanya berupa kenaikan harga saja, dan anda tidak
memperoleh kenaikan nilai ataupun kuantitas (Ketika anda beli tanah 1 hektar,
misalnya, maka sampai kapanpun tanah itu akan tetap seluas 1 hektar dan gak
akan bertambah menjadi 2 hektar. Ini berbeda dengan kambing tadi yang bisa
beranak pinak menjadi puluhan bahkan ratusan ekor). Karena itulah investor yang
sudah berpengalaman biasanya menempatkan investasinya pada dua macam aset,
yakni aset tetap dan aset bertumbuh. Tujuannya selain untuk diversifikasi, juga
untuk menekan risiko terjadinya kerugian (aset tetap), namun disisi lain dengan
tetap mengejar keuntungan yang substansial (aset bertumbuh).
Investasi vs
‘Investasi’
Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan
investasi adalah kegiatan yang paling tidak memenuhi unsur-unsur berikut:
- Potensi keuntungan berupa dividen, bunga, atau laba
- Potensi keuntungan berupa kenaikan nilai aset, dan biasanya kenaikan harga juga
- Usaha yang jelas, dimana modal diputar di usaha tersebut untuk menghasilkan dua macam keuntungan diatas, dan
- Risiko kerugian.
Nah, balik lagi ke masalah GTIS diatas, menurut anda
apakah itu bisa disebut sebagai investasi? Jelas tidak. ‘Produk Investasi’ yang
ditawarkan GTIS tersebut memberikan dividen/bonus minimal 2% setiap bulannya,
tapi tidak jelas dari mana pihak GTIS akan memperoleh dana untuk membayar bonus
tersebut, selain juga tidak ada faktor risiko yang jelas (malah pake jaminan
segala lagi, bahwa bunga yang 2% per bulan itu pasti dibayar, bullshit). Kalau anda baca lagi diatas, salah satu
unsur dari kegiatan investasi adalah adanya potensi keuntungan, bukan kepastian
keuntungan. Bahkan jika anda membeli obligasi yang menawarkan bunga alias fixed income sekalipun, anda tetap saja menanggung
risiko tidak memperoleh keuntungan apa-apa atau bahkan mengalami kerugian, jika
si perusahaan ternyata tidak bisa membeli/menebus obligasi itu kembali.
Kembali ke GTIS, disisi lain kalau dikatakan bahwa
produk investasi yang ditawarkan GTIS adalah investasi pada aset tetap (karena
pake emas), lalu kenapa nasabah harus membeli emasnya pada harga yang jauh
lebih tinggi ketimbang harga pasaran? Kalau gitu mending beli emas biasa aja
ateuh, terus disimpen di brankas dan taroh brankasnya di loteng, beres!
(Btw, terkait membeli
aset pada harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga pasaran atau harga
normalnya, maka anda juga harus hati-hati dalam membeli aset tetap berupa
tanah/properti, jika tujuannya adalah untuk investasi. Belakangan ini banyak
sekali pengembang properti yang dengan sengaja menaik-naikkan harga properti
yang mereka jual, untuk memberikan kesan bahwa pembeli pasti untung karena
harga rumah/apartemen yang mereka beli naik terus. Namun kenaikan tersebut
seringkali tidak wajar (tentu saja, namanya juga kenaikan yang dibuat-buat),
sehingga sering kejadian si pembeli membeli properti yang bersangkutan pada
harga yang kelewat mahal, dan akhirnya dia bukannya untung tapi malah rugi)
Anyway, kasus GTIS diatas, termasuk kasus-kasus
penipuan investasi lainnya, memang akan selalu ada sampai kapanpun, selama
orang-orang selalu tertarik untuk memperoleh keuntungan besar dalam waktu
singkat. So, berikut adalah beberapa tips untuk melindungi anda agar tidak
terjebak kasus penipuan yang sama:
Satu, hati-hati dengan tawaran keuntungan yang kelewat besar. Di Indonesia, persentase
keuntungan yang wajar untuk investasi dalam bidang apapun, adalah antara 7
hingga 20% per tahun (kita tidak menghitung deposito disini, karena bunga 4.5%
per tahun terlalu kecil untuk menutupi penurunan nilai Rupiah karena inflasi),
termasuk bunga obligasi biasanya sekitar 10 - 12% per tahun. Okay, penulis tidak
menutup fakta bahwa kalau investasi di saham, banyak juga investor yang mampu
mencetak keuntungan yang jauh lebih tinggi dibanding 20% per tahun. Namun kalau
kita pakai patokan kenaikan IHSG dalam jangka panjang, tepatnya sejak puncak
krisis moneter tahun 1998 lalu dimana ketika itu IHSG jatuh ke posisi 276
sebagai titik terendahnya, maka rata-rata kenaikan IHSG dalam lima belas tahun
terakhir (1998 – 2013, hingga posisi terbarunya saat ini yaitu 4,825) adalah
19.6% per tahun.
So, jika anda ditawari investasi dengan return yang jauh lebih besar dari 20%
tadi, maka hati-hati karena itu kemungkinan merupakan investasi bodong. Karena
sejauh yang penulis pelajari, tidak ada instrumen investasi yang menawarkan
potensi gain yang lebih tinggi ketimbang investasi di saham (tapi disisi lain,
investasi di saham juga merupakan investasi paling berisiko diantara
investasi-investasi lainnya). Kalau 'investasi' di forex, bursa berjangka, dll, itu bukan investasi, melainkan trading (tapi di saham anda juga bisa trading kok, meski penulis sendiri lebih suka invest karena lebih santai).
Dua, hati-hati dengan tawaran investasi yang
menjanjikan keuntungan/bonus/dividen/bunga yang akan dibayar dalam waktu singkat, dalam hal ini
setiap bulan. Wajarnya, investasi jenis apapun menawarkan bagi hasil atau return setahun sekali, dan itu sebabnya
perusahaan juga hanya membagi dividen setahun sekali kepada para pemegang saham,
atau setahun dua kali untuk perusahaan yang sudah benar-benar mapan.
Tapi memang untuk beberapa jenis investasi ada
sedikit perbedaan. Jika anda menabung di bank, bunga yang anda peroleh
dibayarkan setiap bulan. Dan jika anda membeli obligasi, maka anda juga akan
menerima bunga setiap tiga bulan. Tapi berapa sih bunga tabungan bank dan
obligasi? Cuma 2 dan 12% per tahun. Artinya? Perusahaan (atau bank) bisa
membayar bunga kepada anda dalam waktu singkat, jika nilai dari bunga itu
sendiri sangat kecil. Sementara jika nilainya besar, katakanlah 24% per tahun
seperti GTIS diatas, maka sangat tidak wajar jika bunga tersebut bisa
dibayarkan setiap bulan.
Tapi GTIS itu tidak seberapa.. Penulis ingat dulu
waktu jaman kuliah juga pernah ditawari investasi yang menjanjikan keuntungan
yang dibayar tiap minggu, bahkan tiap hari! Sempet percaya juga, tapi untungnya
ketika itu penulis gak jadi bergabung karena memang gak punya duitnya.
Tiga, hati-hati dengan tawaran investasi tanpa
penjelasan yang mendetail bahwa uang anda akan diputar di usaha apa, termasuk tidak ada penjelasan mengenai risiko kerugian. Tawaran investasi apapun yang
hanya fokus pada potensi keuntungan yang akan diterima oleh calon investor,
namun tidak ada penjelasan mengenai jenis
dan risiko usaha, apalagi sampai menjamin
bahwa investasinya pasti untung,
maka itu sudah pasti merupakan penipuan. You know, investasi model apapun
selalu ada risikonya, termasuk jika anda naruh uang di deposito pun juga ada
risikonya, yaitu jika bank yang bersangkutan sewaktu-waktu kolaps (makanya
kemudian ada Lembaga Penjamin Simpanan/LPS, tapi itupun hanya bisa menjamin
dana nasabah bank sebesar maksimal Rp2 milyar). Jadi jika ada kenalan yang
menghampiri anda kemudian mengatakan, ‘Bro, ada peluang investasi nih, dijamin
untung! Mau nggak?’ Maka sudah pasti ia berniat menipu anda, entah disengaja
ataupun tidak.
Ada lagi? Nggak, cuma tiga itu saja kok. Satu lagi
nasihat yang bagus agar anda terhindar dari kasus penipuan seperti ini adalah,
ingat bahwa something that is too good to be true, is typically not true at
all. Tapi penulis yakin anda sudah sering mendengar kalimat tersebut.
Investasi di Saham
Lalu bagaimana dengan investasi di saham? Pada
dasarnya, investasi di saham adalah investasi pada aset bertumbuh: Anda membeli
saham dengan harapan bahwa nilai aset anda akan naik seiring dengan kenaikan
nilai perusahaan yang tercermin pada kenaikan harga sahamnya, plus keuntungan
berupa bagian laba bersih yang dihasilkan perusahaan (dividen). Kenaikan nilai
perusahaan biasanya berasal dari laba bersih ditahan (retained earnings) yang
digunakan untuk menambah modal untuk ekspansi usaha, misalnya bikin kantor
cabang baru, mendirikan pabrik baru, merekrut lebih banyak pegawai untuk
meningkatkan produksi, dll. Kenaikan nilai perusahaan (yang kemudian tercermin
pada kenaikan harga sahamnya) biasa disebut capital
gain, dan merupakan sumber keuntungan utama bagi para investor, karena
keuntungan dari dividen biasanya sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah
modal yang dikeluarkan (biasanya hanya 3% per tahun, kalau mencapai 6% maka
sudah sangat bagus).
Namun jangan salah, ternyata di saham juga ada penipuan
skema ponzi, meski mekanismenya tidak sepenuhnya sama dengan skema ponzi pada
kasus GTIS diatas, yaitu: Sering kejadian harga saham dibuat melambung tinggi
oleh pihak-pihak tertentu, sehingga investor/trader yang membelinya memperoleh
keuntungan besar dalam waktu singkat, tapi bukan dari kenaikan nilai
perusahaan, melainkan dari investor lain
yang membeli saham tersebut kemudian. Artinya? Keuntungan yang diperoleh
investor yang sudah membeli saham tersebut sejak dari awal, diperoleh dari
kerugian yang diderita investor yang membeli belakangan. Saham model begini
biasa disebut saham gorengan, dan dari dulu sampai sekarang dan mungkin sampai
kapanpun, akan selalu ada saja saham-saham seperti ini.
Jadi bagaimana cara menghindari agar tidak terjebak ‘saham
ponzi’ tersebut? Well, kita sudah membahasnya berkali-kali di website ini, coba
anda search lagi artikelnya. Yang jelas tips dari penulis agar anda tidak
terjebak ‘investasi saham bodong’ tersebut adalah: 1. Hindari spekulasi, 2.
Berinvestasilah dengan akal sehat, jangan mudah tergiur oleh keuntungan instan,
dan 3. Teliti sebelum membeli.
Yeah.. I know, tips-tips diatas mudah untuk
dikatakan tapi susaaah sekali untuk di praktekkan. But well.. just try it, will
you? Anyway, artikel ini sudah kelewat panjang, jadi kita lanjutkan lagi pekan
depan.