Kamis, 22 Mei 2014

Indofood Sukses Makmur

Analisis Saham Independen


Posted: 22 May 2014 04:32 AM PDT
Indofood Sukses Makmur (INDF), seperti yang anda ketahui merupakan perusahaan makanan terbesar di Indonesia, bahkan salah satu yang terbesar di dunia, dengan variasi produk mulai dari minyak goreng, margarin, tepung terigu, mi instan, makanan ringan, sirup, makanan bernutrisi, penyedap rasa, susu, dan gula. Melalui anak usahanya yakni Salim Ivomas Pratama (SIMP), INDF juga merupakan perusahaan perkebunan terbesar di dunia dari sisi luas lahannya yang mencapai 483 ribu hektar. Jadi yap, INDF ini memang besar sekali. Tapi penulis cukup terkejut ketika membaca laporan tahunan perusahaan, dimana INDF ini ternyata masih terus berekspansi untuk menjadi lebih besar lagi. Terakhir, perusahan milik Grup Salim ini sudah melebarkan sayapnya hingga ke Tiongkok, dengan mengakuisisi China Minzhong Food Corp., sebuah perusahaan pengolahan sayuran.

Meski Grup Salim sejak dulu sudah dikenal sebagai pionir di bidang makanan di Indonesia dengan mendirikan pabrik tepung terigu (dibawah bendera PT Bogasari) pada tahun 1974, dan kemudian menciptakan mie instan legendaris, yaitu Indomie, pada tahun 1982, namun geliat mereka di industri makanan baru benar-benar terasa setelah krisis moneter 1998. Pasca krisis, Grup Salim memutuskan untuk fokus membesarkan bisnis makanan, yang seluruhnya diletakkan dibawah bendera PT Indofood Sukses Makmur. Sejak awal tahun 2000-an, INDF telah masuk ke bidang usaha produksi minyak goreng, margarin, susu, makanan bernutrisi, gula, kecap, dan penyedap makanan. Sebelumnya pada tahun 1997, Grup Salim juga mulai masuk ke bidang usaha perkebunan kelapa sawit, minyak goreng, dan margarin, dimana usaha-usaha ini juga seluruhnya diletakkan dibawah INDF, melalui SIMP.

Logo Indofood dengan slogan barunya, 'The Symbol of Quality Goods' (menggantikan 'Lambang makanan bermutu')
Kemudian setelah sempat ‘libur’ selama beberapa tahun, pada tahun 2007 INDF kembali menambah portofolio perkebunannya, termasuk mengakuisisi PT London Sumatera (LSIP) yang kemudian dijadikan sebagai anak usaha dari SIMP. Tahun 2008, INDF masuk ke bisnis perkebunan tebu dengan mengakuisisi PT Lajuperdana Indah, dan mengakuisisi perusahaan susu, PT Indolakto (produsen susu merk Indomilk). Tahun 2010, INDF mendirikan PT Indofood CBP (ICBP) untuk dijadikan holdingdari anak-anak usahanya yang bergerak di bidang consumer brand products (termasuk Indomie) dan meng-IPO-kannya ke bursa. Dan setahun berikutnya yakni tahun 2011, giliran SIMP yang menggelar IPO. Dari dua IPO-nya tersebut, Grup Indofood meraup dana segar tak kurang dari Rp10 trilyun, yang kemudian digunakan untuk melanjutkan ekspansi.

Dan ekspansi tersebut tidak butuh waktu lama untuk segera dieksekusi. Pada tahun 2012, INDF melalui ICBP mengadakan kerja sama dengan Grup Asahi asal Jepang untuk memasuki bisnis minuman non alkohol di Indonesia, dengan mendirikan dua perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang produksi dan distribusi minuman. Kerjasama Indofood-Asahi ini pada saat ini sudah membuahkan hasil, dimana anda bisa dengan mudah menemukan minuman teh merk ‘Ichi Ocha’ di supermarket dan pasar swalayan. Diluar itu, masih melalui ICBP, INDF juga memasuki bisnis pembuatan mayones, jaringan restoran, hingga produksi krim untuk pembuatan kue, rata-rata dengan bekerja sama juga dengan perusahaan Jepang.

Terakhir, sepanjang tahun 2013 kemarin, INDF mulai ‘go international’ dengan mengakuisisi Companhia Mineira de Açúcare Álcool Participações (susah amat bacanya), sebuah perusahaan gula di Brazil, mengakuisisi Roxas Holding, perusahaan gula terbesar di Filipina, dan mengakuisisi China Minzhong Food Corp., perusahaan budidaya dan pengolahan sayuran di Tiongkok yang sahamnya terdaftar di Bursa Singapura. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang ditempatkan dibawah ICBP atau SIMP, perusahaan-perusahaan overseas diatas dipegang langsung oleh INDF, atau melalui Indofood Agri, anak usahanya yang terdaftar di Bursa Singapura. Selain itu, INDF juga telah menyelesaikan akuisisi atas seluruh saham PT Pepsi-Cola Indobeverages (yang kemudian berubah nama menjadi PT Prima Cahaya Indobeverages).

Hufftt.. Okay, udah selesai? Ternyata belum! Pada tahun 2014 ini, melalui SIMP dan ICBP (melalui LSIP boleh dibilang gak ada ekspansi apa-apa karena LSIP ini cuma ‘cucu usaha’), INDF masih punya segudang rencana ekspansi usaha, terutama karena dua anak usahanya tersebut masih memegang dana cash yang besar hasil IPO-nya dulu (per Kuartal I 2014, SIMP memegang cash Rp2.2 trilyun, sementara ICBP Rp6.3 trilyun). Model bisnis perusahaan yang banyak bermain di fast moving consumer goods, menyebabkan INDF, terutama melalui ICBP, selalu memiliki cash yang besar untuk diputar kembali. Sehingga wajar jika ekspansi lebih banyak dilakukan melalui ICBP (pada awal tahun 2014, ICBP mengakuisisi air minum dalam kemasan dengan merk ‘Club’). Meski demikian SIMP juga banyak melakukan ekspansi terutama dengan cara menanami lahan perkebunan yang sudah diakuisisi sebelumnya, dengan tanaman kelapa sawit, karet, tebu, hingga teh, dan mendirikan pabrik-pabrik untuk mengolah CPO menjadi minyak goreng dan margarin.

Bimoli dan Palmia, merk minyak goreng dan margarin andalan Indofood
Sementara INDF-nya sendiri, setelah tahun kemarin sukses mengakuisisi China Minzhong, maka kedepannya perusahaan akan kembali mengakuisisi perusahaan lainnya lagi jika memang ada kesempatan, tapi pihak manajemen memang nggak mau cerita apapun. Diluar itu, pasar Indomie kini bahkan sudah menjangkau hingga Maroko dan Kazakhstan. Jadi yah, prospek jangka panjangnya memang menarik sekali, karena pihak manajemen tidak pernah berhenti bekerja untuk membesarkan perusahaan, selain karena INDF sendiri sejak awal sudah merupakan perusahaan makanan terbesar dan termapan di tanah air.

Berikut adalah beberapa poin yang menyebabkan INDF ini layak investasi terutama jika anda merupakan investor besar (atau mewakili investor institusi) yang nggak mau invest di saham-saham ecek-ecek dan nggak jelas.

  1. INDF memiliki sejarah yang panjang dan positif sejak tahun 1970-an sebagai perusahaan makanan paling terkemuka di tanah air, dimana INDF sejauh ini senantiasa bertumbuh dan tidak pernah mengalami peristiwa buruk bahkan ketika terjadi krisis moneter 1998.
  2. INDF dipimpin langsung oleh pemilik perusahaan, Bapak Anthoni Salim, yang menempati posisi sebagai direktur utama. Kalau anda perhatikan perusahaan besar lain yang dimiliki oleh grup-grup besar, jarang ada owner perusahaan yang mau duduk di jajaran pengurus perusahaan. Contohnya di perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie, anda jangan harap menemukan nama Aburizal atau Nirwan Bakrie dijajaran direksi atau komisaris perusahaan. Padahal kalau pake contoh Warren Buffett, investor besar ini juga ambil bagian dengan menjadi direktur dari perusahaan-perusahaan yang ia beli/akuisisi, atau dengan kata lain, ia tidak keberatan untuk turun langsung mengelola perusahaan.
  3. Untuk efisiensi kinerja, INDF juga memiliki unit-unit usaha di bidang distribusi termasuk memiliki beberapa unit kapal untuk logistik. Grup Salim juga sebenarnya memiliki banyak perusahaan di bidang ritel, sehingga untuk membuat Indomie, misalnya, Grup Salim sudah menguasai semuanya, mulai dari bahan baku tepung terigu, pabriknya, distribusinya, hingga toko-tokok yang menjual Indomie-nya, itu semua milik mereka sendiri (Indomaret dan SuperIndo itu juga milik Grup Salim). Namun hanya unit-unit usaha distribusi yang diletakkan dibawah INDF.
  4. Return on Equity (ROE) perusahaan senantiasa terjaga di level 20% setiap tahunnya, padahal ekuitas INDF naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir (terutama sejak IPO dua anak usahanya, ICBP dan SIMP). Tahun 2013 kemarin laba perusahaan memang turun karena penurunan harga CPO, dan alhasil ROE-nya juga turun, tapi ditahun-tahun yang lain, termasuk tahun 2014 ini, ROE tersebut tetap berada di level  diatas 20%
  5. Perusahaan rutin membayar dividen dalam jumlah wajar setiap tahunnya, yakni sekitar separuh laba bersih yang diperoleh perusahaan di tahun yang bersangkutan, dan ini menunjukkan manajemen yang berpihak kepada investor. Nilai dividen itu sendiri terus naik dari Rp45 per saham di tahun 2008, menjadi Rp142 untuk tahun buku 2013.

Kalau anda perhatikan, dengan PER 10.9 dan PBV 2.5 kali pada harga saham 6,775, maka INDF adalah salah satu saham blue chip di bursa yang pada saat ini memang sedang berada pada level harga wajarnya. Saham INDF sendiri cenderung bergerak stagnan selama setahun terakhir di rentang 6,500 dan 7,500 (INDF pernah turun hingga dibawah 6,000 pada Agustus 2013 ketika terjadi koreksi hebat pada IHSG, namun langsung naik lagi), dan itu adalah karena kinerja perusahaan sepanjang tahun 2013 masih turun akibat penurunan kinerja dari anak-anak usahanya dibidang perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya, karena turunnya harga CPO. Pada tahun 2012 INDF mencatat laba bersih Rp3.3 trilyun, yang turun menjadi Rp2.5 trilyun pada tahun 2013. Namun karena sejak awal valuasi INDF tidak terlalu mahal untuk ukuran saham blue chip, maka sahamnya pun juga nggak lantas anjlok karenanya.

Kabar baiknya, INDF mengawali tahun 2014 ini dengan cukup baik dimana labanya kembali naik menjadi Rp1.4 trilyun pada Kuartal I 2014, berbanding Rp722 trilyun pada periode yang sama tahun 2013, atau naik 90.1%. Kenaikan tersebut tentu saja disumbang oleh bisnis perkebunan kelapa sawit yang mulai kembali sukses menghasilkan laba yang besar setelah harga CPO mulai naik lagi (selain karena volume produksi CPO milik SIMP dan LSIP juga naik terus). Jika trend kenaikan ini terus berjalan maka jelas INDF sangat menarik untuk diperhatikan, selain karena mulai tahun ini INDF memperoleh tambahan pendapatan dari China Minzhong dimana pada tahun 2013 lalu pendapatan tersebut belum ada, dan itu belum termasuk potensi tambahan pendapatan dari ekspansi-ekspansi lainnya yang sedang dan akan dilakukan perusahaan.

However, kalau ada satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah posisi utang INDF yang pada saat ini sudah cukup besar. Berbagai ekspansi yang dilakukan perusahaan selama beberapa tahun terakhir tentu saja membutuhkan dana yang besar, sehingga perusahaan memutuskan untuk melepas ICBP dan SIMP ke bursa saham untuk memperoleh dana total Rp10 trilyun, tapi bahkan itu masih belum cukup. Jadi INDF juga mengambil utang bank jangka panjang, serta yang terbaru, perusahaan kembali menerbitkan obligasi senilai Rp2 trilyun untuk melunasi obligasi sebelumnya. Pada Kuartal I 2014, total liabilitas INDF tercatat Rp42 trilyun, cukup besar dibanding nilai ekuitas perusahaan sebesar Rp24 trilyun. Kalau kita belajar lagi sejarahnya, Grup Salim sukses mempertahankan INDF ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 namun terpaksa melepas Bank BCA (BBCA) dan Indocement (INTP), karena mereka menanggung utang yang cukup banyak namun INDF ini tidak termasuk perusahaan yang menanggung utang tersebut.

Tapi saat ini kondisinya jelas sudah berbeda, dimana jumlah utang INDF tidak bisa lagi dikatakan sedikit. Om Anton mungkin punya pandangan sendiri soal ini, dimana INDF saat ini memiliki banyak anak-anak perusahaan yang beroperasi diluar negeri dan itu menurunkan risiko bisnis karena penurunan nilai tukar Rupiah, karena perusahaan-perusahaan tersebut membukukan pendapatan dan labanya dalam mata uang di negaranya masing-masing (seperti China Minzhong, yang membukukan labanya dalam mata uang Renminbi/RMB), sementara kita tahu bahwa krisis moneter 1998 terjadi karena pelemahan Rupiah secara tiba-tiba dari Rp2,500 menjadi 15,000 per US Dollar. Tapi tetap saja, hal ini tetap perlu diperhatikan jika anda berminat untuk menjadi pemegang saham perusahaan.

Anyway, terkait harga ideal untuk sahamnya, seperti yang penulis katakan diatas, posisi INDF pada saat ini terbilang wajar, jadi kalau anda mau ‘mengakuisisi’-nya maka tunggu hingga harganya murah dulu, let say direntang 6,000 – 6,500 dimana INDF sangat mungkin turun hingga ke posisi tersebut jika IHSG nanti turun, kemudian selanjutnya anda bisa duduk santai menunggu dia naik sendiri. Target 9,000 bagi INDF ini terbilang realistis untuk jangka waktu 2 – 3 tahun kedepan, dengan catatan perusahaan mampu mengelola utang-utangnya dengan baik. Risiko penurunan kinerja karena penurunan harga CPO untuk saat ini praktis sudah sangat kecil mengingat harga CPO itu sendiri sudah rendah, selain karena trend-nya mulai bergerak naik setelah harga CPO ‘istirahat’ selama dua tahun terakhir.

Kemudian jika ada pertanyaan, apakah lebih baik masuk ke INDF ini ataukah anak usahanya saja? Seperti ICBP, SIMP, atau LSIP? Maka jawabannya adalah, anda harus lihat valuasinya. Saat ini dari sisi PBV, saham SIMP merupakan yang termurah diantara semuanya, namun itu karena SIMP memiliki tingkat profitabilitas yang rendah sejauh ini karena masih banyak dari aset perkebunannya yang belum menghasilkan (dari nyaris setengah juta hektar lahan perkebunan milik SIMP, baru separuhnya yang sudah ditanam), selain karena margin dari jualan minyak goreng dan margarin ternyata lebih kecil dari menjual CPO langsung (anak usaha SIMP, yakni LSIP, hanya menjual CPO). Kalau dilihat dari kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, atau istilahnya earnings power-nya, maka ICBP dan LSIP adalah pilihan yang terbaik, namun harganya pun premium. Jadi kalau mau ambil tengah-tengahnya saja, maka anda mungkin bisa ambil INDF ini saja, tentunya jika anda bisa masuk di harga yang ideal.

Pada pertengahan tahun 2012, INDF cukup lama tertahan di 4,500-an (sekitar delapan bulan), padahal itu adalah harga yang cukup murah dengan PBV kurang dari 2.0 kali (ingat bahwa INDF ini saham blue chip tulen, yang tidak bisa dihargai terlalu rendah). Dan sekarang, atau hampir dua tahun kemudian, INDF sudah berada di level 6,500 – 7,000, atau naik sekitar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa kalau kita beli saham bagus di harga murah, maka meski terkadang perlu menunggu cukup lama, namun toh saham tersebut pada akhirnya akan naik juga. Kabar baiknya, untuk saat ini masih belum terlambat untuk masuk ke INDF jika tujuannya adalah untuk investasi jangka panjang, let say untuk 2 – 3 tahun kedepan.

PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk
Rating Kinerja pada Q1 2014: A
Rating Saham pada 6,775: A

NB: Penulis menyelenggarakan seminar/training value investing di Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 21 Juni 2014. Keterangan selengkapnya baca disini.