Kamis, 22 Mei 2014

Indofood Sukses Makmur

Analisis Saham Independen


Posted: 22 May 2014 04:32 AM PDT
Indofood Sukses Makmur (INDF), seperti yang anda ketahui merupakan perusahaan makanan terbesar di Indonesia, bahkan salah satu yang terbesar di dunia, dengan variasi produk mulai dari minyak goreng, margarin, tepung terigu, mi instan, makanan ringan, sirup, makanan bernutrisi, penyedap rasa, susu, dan gula. Melalui anak usahanya yakni Salim Ivomas Pratama (SIMP), INDF juga merupakan perusahaan perkebunan terbesar di dunia dari sisi luas lahannya yang mencapai 483 ribu hektar. Jadi yap, INDF ini memang besar sekali. Tapi penulis cukup terkejut ketika membaca laporan tahunan perusahaan, dimana INDF ini ternyata masih terus berekspansi untuk menjadi lebih besar lagi. Terakhir, perusahan milik Grup Salim ini sudah melebarkan sayapnya hingga ke Tiongkok, dengan mengakuisisi China Minzhong Food Corp., sebuah perusahaan pengolahan sayuran.

Meski Grup Salim sejak dulu sudah dikenal sebagai pionir di bidang makanan di Indonesia dengan mendirikan pabrik tepung terigu (dibawah bendera PT Bogasari) pada tahun 1974, dan kemudian menciptakan mie instan legendaris, yaitu Indomie, pada tahun 1982, namun geliat mereka di industri makanan baru benar-benar terasa setelah krisis moneter 1998. Pasca krisis, Grup Salim memutuskan untuk fokus membesarkan bisnis makanan, yang seluruhnya diletakkan dibawah bendera PT Indofood Sukses Makmur. Sejak awal tahun 2000-an, INDF telah masuk ke bidang usaha produksi minyak goreng, margarin, susu, makanan bernutrisi, gula, kecap, dan penyedap makanan. Sebelumnya pada tahun 1997, Grup Salim juga mulai masuk ke bidang usaha perkebunan kelapa sawit, minyak goreng, dan margarin, dimana usaha-usaha ini juga seluruhnya diletakkan dibawah INDF, melalui SIMP.

Logo Indofood dengan slogan barunya, 'The Symbol of Quality Goods' (menggantikan 'Lambang makanan bermutu')
Kemudian setelah sempat ‘libur’ selama beberapa tahun, pada tahun 2007 INDF kembali menambah portofolio perkebunannya, termasuk mengakuisisi PT London Sumatera (LSIP) yang kemudian dijadikan sebagai anak usaha dari SIMP. Tahun 2008, INDF masuk ke bisnis perkebunan tebu dengan mengakuisisi PT Lajuperdana Indah, dan mengakuisisi perusahaan susu, PT Indolakto (produsen susu merk Indomilk). Tahun 2010, INDF mendirikan PT Indofood CBP (ICBP) untuk dijadikan holdingdari anak-anak usahanya yang bergerak di bidang consumer brand products (termasuk Indomie) dan meng-IPO-kannya ke bursa. Dan setahun berikutnya yakni tahun 2011, giliran SIMP yang menggelar IPO. Dari dua IPO-nya tersebut, Grup Indofood meraup dana segar tak kurang dari Rp10 trilyun, yang kemudian digunakan untuk melanjutkan ekspansi.

Dan ekspansi tersebut tidak butuh waktu lama untuk segera dieksekusi. Pada tahun 2012, INDF melalui ICBP mengadakan kerja sama dengan Grup Asahi asal Jepang untuk memasuki bisnis minuman non alkohol di Indonesia, dengan mendirikan dua perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang produksi dan distribusi minuman. Kerjasama Indofood-Asahi ini pada saat ini sudah membuahkan hasil, dimana anda bisa dengan mudah menemukan minuman teh merk ‘Ichi Ocha’ di supermarket dan pasar swalayan. Diluar itu, masih melalui ICBP, INDF juga memasuki bisnis pembuatan mayones, jaringan restoran, hingga produksi krim untuk pembuatan kue, rata-rata dengan bekerja sama juga dengan perusahaan Jepang.

Terakhir, sepanjang tahun 2013 kemarin, INDF mulai ‘go international’ dengan mengakuisisi Companhia Mineira de Açúcare Álcool Participações (susah amat bacanya), sebuah perusahaan gula di Brazil, mengakuisisi Roxas Holding, perusahaan gula terbesar di Filipina, dan mengakuisisi China Minzhong Food Corp., perusahaan budidaya dan pengolahan sayuran di Tiongkok yang sahamnya terdaftar di Bursa Singapura. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang ditempatkan dibawah ICBP atau SIMP, perusahaan-perusahaan overseas diatas dipegang langsung oleh INDF, atau melalui Indofood Agri, anak usahanya yang terdaftar di Bursa Singapura. Selain itu, INDF juga telah menyelesaikan akuisisi atas seluruh saham PT Pepsi-Cola Indobeverages (yang kemudian berubah nama menjadi PT Prima Cahaya Indobeverages).

Hufftt.. Okay, udah selesai? Ternyata belum! Pada tahun 2014 ini, melalui SIMP dan ICBP (melalui LSIP boleh dibilang gak ada ekspansi apa-apa karena LSIP ini cuma ‘cucu usaha’), INDF masih punya segudang rencana ekspansi usaha, terutama karena dua anak usahanya tersebut masih memegang dana cash yang besar hasil IPO-nya dulu (per Kuartal I 2014, SIMP memegang cash Rp2.2 trilyun, sementara ICBP Rp6.3 trilyun). Model bisnis perusahaan yang banyak bermain di fast moving consumer goods, menyebabkan INDF, terutama melalui ICBP, selalu memiliki cash yang besar untuk diputar kembali. Sehingga wajar jika ekspansi lebih banyak dilakukan melalui ICBP (pada awal tahun 2014, ICBP mengakuisisi air minum dalam kemasan dengan merk ‘Club’). Meski demikian SIMP juga banyak melakukan ekspansi terutama dengan cara menanami lahan perkebunan yang sudah diakuisisi sebelumnya, dengan tanaman kelapa sawit, karet, tebu, hingga teh, dan mendirikan pabrik-pabrik untuk mengolah CPO menjadi minyak goreng dan margarin.

Bimoli dan Palmia, merk minyak goreng dan margarin andalan Indofood
Sementara INDF-nya sendiri, setelah tahun kemarin sukses mengakuisisi China Minzhong, maka kedepannya perusahaan akan kembali mengakuisisi perusahaan lainnya lagi jika memang ada kesempatan, tapi pihak manajemen memang nggak mau cerita apapun. Diluar itu, pasar Indomie kini bahkan sudah menjangkau hingga Maroko dan Kazakhstan. Jadi yah, prospek jangka panjangnya memang menarik sekali, karena pihak manajemen tidak pernah berhenti bekerja untuk membesarkan perusahaan, selain karena INDF sendiri sejak awal sudah merupakan perusahaan makanan terbesar dan termapan di tanah air.

Berikut adalah beberapa poin yang menyebabkan INDF ini layak investasi terutama jika anda merupakan investor besar (atau mewakili investor institusi) yang nggak mau invest di saham-saham ecek-ecek dan nggak jelas.

  1. INDF memiliki sejarah yang panjang dan positif sejak tahun 1970-an sebagai perusahaan makanan paling terkemuka di tanah air, dimana INDF sejauh ini senantiasa bertumbuh dan tidak pernah mengalami peristiwa buruk bahkan ketika terjadi krisis moneter 1998.
  2. INDF dipimpin langsung oleh pemilik perusahaan, Bapak Anthoni Salim, yang menempati posisi sebagai direktur utama. Kalau anda perhatikan perusahaan besar lain yang dimiliki oleh grup-grup besar, jarang ada owner perusahaan yang mau duduk di jajaran pengurus perusahaan. Contohnya di perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie, anda jangan harap menemukan nama Aburizal atau Nirwan Bakrie dijajaran direksi atau komisaris perusahaan. Padahal kalau pake contoh Warren Buffett, investor besar ini juga ambil bagian dengan menjadi direktur dari perusahaan-perusahaan yang ia beli/akuisisi, atau dengan kata lain, ia tidak keberatan untuk turun langsung mengelola perusahaan.
  3. Untuk efisiensi kinerja, INDF juga memiliki unit-unit usaha di bidang distribusi termasuk memiliki beberapa unit kapal untuk logistik. Grup Salim juga sebenarnya memiliki banyak perusahaan di bidang ritel, sehingga untuk membuat Indomie, misalnya, Grup Salim sudah menguasai semuanya, mulai dari bahan baku tepung terigu, pabriknya, distribusinya, hingga toko-tokok yang menjual Indomie-nya, itu semua milik mereka sendiri (Indomaret dan SuperIndo itu juga milik Grup Salim). Namun hanya unit-unit usaha distribusi yang diletakkan dibawah INDF.
  4. Return on Equity (ROE) perusahaan senantiasa terjaga di level 20% setiap tahunnya, padahal ekuitas INDF naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir (terutama sejak IPO dua anak usahanya, ICBP dan SIMP). Tahun 2013 kemarin laba perusahaan memang turun karena penurunan harga CPO, dan alhasil ROE-nya juga turun, tapi ditahun-tahun yang lain, termasuk tahun 2014 ini, ROE tersebut tetap berada di level  diatas 20%
  5. Perusahaan rutin membayar dividen dalam jumlah wajar setiap tahunnya, yakni sekitar separuh laba bersih yang diperoleh perusahaan di tahun yang bersangkutan, dan ini menunjukkan manajemen yang berpihak kepada investor. Nilai dividen itu sendiri terus naik dari Rp45 per saham di tahun 2008, menjadi Rp142 untuk tahun buku 2013.

Kalau anda perhatikan, dengan PER 10.9 dan PBV 2.5 kali pada harga saham 6,775, maka INDF adalah salah satu saham blue chip di bursa yang pada saat ini memang sedang berada pada level harga wajarnya. Saham INDF sendiri cenderung bergerak stagnan selama setahun terakhir di rentang 6,500 dan 7,500 (INDF pernah turun hingga dibawah 6,000 pada Agustus 2013 ketika terjadi koreksi hebat pada IHSG, namun langsung naik lagi), dan itu adalah karena kinerja perusahaan sepanjang tahun 2013 masih turun akibat penurunan kinerja dari anak-anak usahanya dibidang perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya, karena turunnya harga CPO. Pada tahun 2012 INDF mencatat laba bersih Rp3.3 trilyun, yang turun menjadi Rp2.5 trilyun pada tahun 2013. Namun karena sejak awal valuasi INDF tidak terlalu mahal untuk ukuran saham blue chip, maka sahamnya pun juga nggak lantas anjlok karenanya.

Kabar baiknya, INDF mengawali tahun 2014 ini dengan cukup baik dimana labanya kembali naik menjadi Rp1.4 trilyun pada Kuartal I 2014, berbanding Rp722 trilyun pada periode yang sama tahun 2013, atau naik 90.1%. Kenaikan tersebut tentu saja disumbang oleh bisnis perkebunan kelapa sawit yang mulai kembali sukses menghasilkan laba yang besar setelah harga CPO mulai naik lagi (selain karena volume produksi CPO milik SIMP dan LSIP juga naik terus). Jika trend kenaikan ini terus berjalan maka jelas INDF sangat menarik untuk diperhatikan, selain karena mulai tahun ini INDF memperoleh tambahan pendapatan dari China Minzhong dimana pada tahun 2013 lalu pendapatan tersebut belum ada, dan itu belum termasuk potensi tambahan pendapatan dari ekspansi-ekspansi lainnya yang sedang dan akan dilakukan perusahaan.

However, kalau ada satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah posisi utang INDF yang pada saat ini sudah cukup besar. Berbagai ekspansi yang dilakukan perusahaan selama beberapa tahun terakhir tentu saja membutuhkan dana yang besar, sehingga perusahaan memutuskan untuk melepas ICBP dan SIMP ke bursa saham untuk memperoleh dana total Rp10 trilyun, tapi bahkan itu masih belum cukup. Jadi INDF juga mengambil utang bank jangka panjang, serta yang terbaru, perusahaan kembali menerbitkan obligasi senilai Rp2 trilyun untuk melunasi obligasi sebelumnya. Pada Kuartal I 2014, total liabilitas INDF tercatat Rp42 trilyun, cukup besar dibanding nilai ekuitas perusahaan sebesar Rp24 trilyun. Kalau kita belajar lagi sejarahnya, Grup Salim sukses mempertahankan INDF ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 namun terpaksa melepas Bank BCA (BBCA) dan Indocement (INTP), karena mereka menanggung utang yang cukup banyak namun INDF ini tidak termasuk perusahaan yang menanggung utang tersebut.

Tapi saat ini kondisinya jelas sudah berbeda, dimana jumlah utang INDF tidak bisa lagi dikatakan sedikit. Om Anton mungkin punya pandangan sendiri soal ini, dimana INDF saat ini memiliki banyak anak-anak perusahaan yang beroperasi diluar negeri dan itu menurunkan risiko bisnis karena penurunan nilai tukar Rupiah, karena perusahaan-perusahaan tersebut membukukan pendapatan dan labanya dalam mata uang di negaranya masing-masing (seperti China Minzhong, yang membukukan labanya dalam mata uang Renminbi/RMB), sementara kita tahu bahwa krisis moneter 1998 terjadi karena pelemahan Rupiah secara tiba-tiba dari Rp2,500 menjadi 15,000 per US Dollar. Tapi tetap saja, hal ini tetap perlu diperhatikan jika anda berminat untuk menjadi pemegang saham perusahaan.

Anyway, terkait harga ideal untuk sahamnya, seperti yang penulis katakan diatas, posisi INDF pada saat ini terbilang wajar, jadi kalau anda mau ‘mengakuisisi’-nya maka tunggu hingga harganya murah dulu, let say direntang 6,000 – 6,500 dimana INDF sangat mungkin turun hingga ke posisi tersebut jika IHSG nanti turun, kemudian selanjutnya anda bisa duduk santai menunggu dia naik sendiri. Target 9,000 bagi INDF ini terbilang realistis untuk jangka waktu 2 – 3 tahun kedepan, dengan catatan perusahaan mampu mengelola utang-utangnya dengan baik. Risiko penurunan kinerja karena penurunan harga CPO untuk saat ini praktis sudah sangat kecil mengingat harga CPO itu sendiri sudah rendah, selain karena trend-nya mulai bergerak naik setelah harga CPO ‘istirahat’ selama dua tahun terakhir.

Kemudian jika ada pertanyaan, apakah lebih baik masuk ke INDF ini ataukah anak usahanya saja? Seperti ICBP, SIMP, atau LSIP? Maka jawabannya adalah, anda harus lihat valuasinya. Saat ini dari sisi PBV, saham SIMP merupakan yang termurah diantara semuanya, namun itu karena SIMP memiliki tingkat profitabilitas yang rendah sejauh ini karena masih banyak dari aset perkebunannya yang belum menghasilkan (dari nyaris setengah juta hektar lahan perkebunan milik SIMP, baru separuhnya yang sudah ditanam), selain karena margin dari jualan minyak goreng dan margarin ternyata lebih kecil dari menjual CPO langsung (anak usaha SIMP, yakni LSIP, hanya menjual CPO). Kalau dilihat dari kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, atau istilahnya earnings power-nya, maka ICBP dan LSIP adalah pilihan yang terbaik, namun harganya pun premium. Jadi kalau mau ambil tengah-tengahnya saja, maka anda mungkin bisa ambil INDF ini saja, tentunya jika anda bisa masuk di harga yang ideal.

Pada pertengahan tahun 2012, INDF cukup lama tertahan di 4,500-an (sekitar delapan bulan), padahal itu adalah harga yang cukup murah dengan PBV kurang dari 2.0 kali (ingat bahwa INDF ini saham blue chip tulen, yang tidak bisa dihargai terlalu rendah). Dan sekarang, atau hampir dua tahun kemudian, INDF sudah berada di level 6,500 – 7,000, atau naik sekitar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa kalau kita beli saham bagus di harga murah, maka meski terkadang perlu menunggu cukup lama, namun toh saham tersebut pada akhirnya akan naik juga. Kabar baiknya, untuk saat ini masih belum terlambat untuk masuk ke INDF jika tujuannya adalah untuk investasi jangka panjang, let say untuk 2 – 3 tahun kedepan.

PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk
Rating Kinerja pada Q1 2014: A
Rating Saham pada 6,775: A

NB: Penulis menyelenggarakan seminar/training value investing di Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 21 Juni 2014. Keterangan selengkapnya baca disini.

Senin, 19 Mei 2014

Jokowi - JK: Confirmed!

Analisis Saham Independen


Posted: 19 May 2014 09:22 AM PDT
Salah satu isu terpenting setelah majunya Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden adalah tentang siapa tokoh yang akan dipilih sebagai calon wakil presidennya. Dan setelah berkali-kali ditunda, hari ini akhirnya diumumkan bahwa tokoh tersebut adalah Jusuf Kalla atau JK. Kebetulan, jika melihat track recordnya yang sangat baik selama menjadi wakil presiden RI pada periode 2004 – 2009, JK adalah tokoh yang memang diinginkan oleh pasar. Alhasil sejak jumat kemarin dan juga berlanjut pada hari ini, IHSG melompat naik dan sekarang sudah berada di level 5,000-an kembali. Pertanyaannya tentu saja, what’s next?

Pada artikel berjudul Jokowi, ARB, atau Prabowo?, penulis mengatakan bahwa dari tiga calon presiden yang ada, hanya Jokowi yang kemungkinan akan membawa dampak positif bagi pasar saham termasuk IHSG andaikata ia yang terpilih sebagai Presiden. However, perolehan suara PDI-P di Pemilu Legislatif yang tidak sampai 20% menyebabkan Jokowi harus berkoalisi dengan partai-partai lain, yang itu berarti Jokowi tidak bisa memilih wakil presidennya sendiri, seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memilih Boediono sebagai wakil presiden di tahun 2009. Masalahnya tentu, bagaimana jika wakil presiden itu merupakan figur yang tidak disukai pasar? Termasuk, beberapa waktu lalu sempat mencuat isu bahwa wakil presiden tersebut adalah Puan Maharani, atau bahkan Aburizal Bakrie (yang setelah menyadari bahwa elektabilitasnya rendah, ARB kini tidak keberatan kalau hanya jadi cawapres).

Tapi untunglah, akhirnya tetap JK yang terpilih, meski itu artinya yang bersangkutan harus keluar dari Golkar karena ARB sebagai Ketua Umum Golkar secara jelas menyatakan bahwa Partai Golkar hanya boleh mendukung dirinya entah sebagai capres ataupun cawapres.

Sekilas, pasangan Jokowi-JK ini akan menang mudah bahkan meski tidak memperoleh dukungan dari partai besar yang satunya lagi, yakni Golkar. Namun ancaman terbesar tentu datang dari pasangan capres-cawapres yang satunya lagi: Prabowo – Hatta. Kalau anda perhatikan, terlepas dari Hatta Radjasa yang tampaknya bukan siapa-siapa, elektabilitas Prabowo terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini, dan itu bukan tanpa alasan. Salah satu masalah pada kubu Jokowi adalah fakta bahwa berbeda dengan Prabowo yang merupakan orang nomor satu di Partainya, Jokowi hanyalah seorang kader partai di PDI-P, dimana posisinya jauh dibawah pimpinan partai, yakni Megawati.

Dan bisakah anda bayangkan, Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden yang masih punya pimpinan lagi diatasnya? Setelah keluar dari Golkar, JK otomatis bukan lagi bawahan dari ARB atau siapapun, sehingga ia merupakan pihak yang independen. Sementara Jokowi? Well, beliau adalah, suka atau tidak, merupakan bawahan dari Megawati. Penulis pribadi tidak begitu peduli soal ini, namun bagi beberapa orang, ini adalah masalah yang tidak bisa diabaikan. Ada banyak pendukung Jokowi yang kemudian pindah mendukung Prabowo setelah Megawati sendiri menegaskan bahwa Jokowi hanyalah seorang ‘petugas partai.’

Sementara Prabowo, dari berbagai kampanyenya jelas menunjukkan bahwa ia adalah calon Presiden yang kuat, berwibawa, dan tidak bisa diatur-atur oleh siapapun. Dan bagi sebagian orang ini adalah kriteria pemimpin yang ideal, yang justru tidak ada pada diri Jokowi.

Intinya sih, hasil Pilpres pada Juli (jadinya Juli, bukan September) nanti sama sekali tidak bisa diprediksi dimana Prabowo jelas masih memiliki peluang, tinggal bagaimana ia dan timnya mampu memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk kampanye dll. Pasangan capres-cawapres yang satunya lagi, yakni ARB – Pramono Edhie (jika memang jadi dimajukan), mungkin saja bisa menjadi faktor penentu dimana jika Pilpres-nya berlangsung dua putaran, maka peluang Jokowi akan menjadi lebih kecil lagi jika ARB kemudian bergabung dengan kubu Prabowo (dan kemungkinannya memang demikian, sebab jika dilihat dari sejarahnya, Golkar sulit sekali berkoalisi dengan PDI-P, sementara Prabowo dulunya adalah kader Golkar).

Lalu bagaimana dengan IHSG?

Setelah JK resmi menjadi cawapres bagi Jokowi, asing kembali berebut masuk ke bursa, sehingga jumlah dana asing yang masuk ke BEI pada saat ini sudah menembus Rp40 trilyun, atau terbesar sepanjang sejarah mengingat jumlah dana asing terbesar yang masuk ke pasar saham Indonesia adalah Rp32.6 trilyun pada tahun 2007, dan faktanya sekarang baru bulan Mei. Hal ini tentu menimbulkan sedikit kekhawatiran karena kalau asing ini keluar separuhnya saja, maka IHSG dalam jangka pendek akan langsung turun. IHSG sendiri sejauh ini sudah naik 18% dihitung sejak awal tahun 2014, atau tertinggi sejak kenaikan 46.1% pada tahun 2010. Jadi yap, pada saat ini pasar memang sedang dalam kondisi yang optimis dalam menyambut calon pemimpin baru.

Tapi bagaimana kedepannya? Atau paling tidak hingga akhir tahun 2014 ini? Diluar faktor euforia Pilpres, yang mungkin bisa kita cermati adalah bahwa pada Kuartal I 2014 kemarin, perusahaan-perusahaan papan atas di BEI (saham-saham bluechip) mencatatkan kinerja yang terbilang baik meski pada tahun 2013 lalu Indonesia dihantui oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sementara dua sektor yang menjadi primadona pasar di masa lalu namun justru menjadi penghambat kenaikan IHSG dalam dua tahun terakhir, yakni sektor tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit, pada tahun 2014 ini mulai menunjukkan perbaikan, dan saham-saham batubara sejauh ini juga mulai bergerak naik menyusul saham-saham perkebunan kelapa sawit yang sudah naik sebelumnya. Kemudian sektor properti, meski kinerjanya banyak yang turun pada awal tahun 2014 ini, namun karena sejak awal saham-saham di sektor ini rata-rata masih murah, maka hal ini tidak menyebabkan saham-saham properti menjadi turun (sektor properti sejak awal tahun 2014 sudah naik 32.3%, tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya). Dan sektor konstruksi, kinerjanya pada tahun 2014 ini relatif masih baik, dan ditambah dengan outlook jangka panjangnya yang juga masih baik seiring dengan banyaknya proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia, maka alhasil saham-saham di sektor ini juga langsung naik lagi (tapi mereka jadinya mahal lagi).

Kesimpulannya, terlepas dari euforia Pilpres yang lagi ramai belakangan ini, kinerja para emiten memang mendukung IHSG untuk naik tinggi, dan memang IHSG, seperti sudah disebut diatas, sejauh ini sudah naik 18% sejak awal tahun. Untuk naik lebih tinggi lagi sebenarnya mungkin saja, mengingat euforia Pilpres yang terjadi pada saat ini kemungkinan akan bertahan hingga Pilpres-nya itu sendiri digelar pada Juli nanti, apalagi jika Jokowi akhirnya benar-benar terpilih sebagai Presiden.

Namun secara historis, IHSG selalu mengalami koreksi minimal setahun sekali dimana bulan Mei dan seterusnya merupakan periode yang rawan terjadi koreksi tersebut. Kalau pada tahun 2010 dan 2012 koreksi IHSG terjadi pada bulan Mei, maka pada tahun 2011 koreksi tersebut terjadi pada bulan Agustus, dan pada tahun 2013 terjadi pada bulan Juni. Tahun 2014 ini mungkin akan jadi pengecualian dimana cerita ‘Sell in May and Go Away’ ternyata tidak terjadi, tapi itu berarti pertanyaan selanjutnya adalah, kapan koreksi tersebut akan terjadi?

Tapi kapanpun koreksi itu akan terjadi, atau malah tidak terjadi sama sekali, namun itu seharusnya tidak jadi masalah karena toh pada akhirnya indeks akan terus naik dalam jangka panjang. Namun satu hal yang mungkin perlu dicatat disini adalah, disadari atau tidak, Pemerintahan Presiden SBY sepanjang 10 tahun terakhir (2004 – 2014) telah sukses membawa IHSG untuk naik hingga lima kali lipat, dari 1,000-an pada awal tahun 2004 menjadi sekarang sudah tembus 5,000-an, dimana kenaikan tersebut memang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, dan itu bahkan sudah termasuk periode krisis tahun 2008. Dan penulis kira akan sulit bagi Presiden berikutnya nanti, entah itu Jokowi ataupun Prabowo, untuk bisa mencatatkan prestasi yang serupa dengan membawa IHSG naik hingga 400% dalam sepuluh tahun. Jangan salah, berbagai kinerja cemerlang yang dicapai oleh Astra International dkk, itu semua tidak akan terealisasi jika kondisi perekonomian nasional itu sendiri morat marit bukan?

Nah, sebenarnya untuk minggu ini penulis hendak menulis analisis saham atau materi edukasi investasi seperti biasa, namun cerita soal Pilpres ini memang terlalu menarik untuk tidak dibicarakan termasuk oleh kita semua sebagai investor saham. So, dengan ini penulis hendak melakukan survei kecil, dimana anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Menurut anda siapa yang akan memenangkan Pilpres nanti? Apakah Jokowi atau Prabowo? Atau malah ARB?
  2. Kemudian, bagaimana kira-kira reaksi pasar terhadap kemenangan Jokowi/Prabowo?
  3. Dan dalam jangka panjang, let say lima tahun kedepan, bagaimana kira-kira kinerja presiden baru kita nanti terhadap perekonomian nasional?
Update: Di saat-saat terakhir, Golkar resmi merapat ke Gerindra! Dengan demikian Pilpres mendatang bisa dipastikan akan menjadi pertarungan antara Jokowi vs Prabowo saja, dan kali ini kekuatan kedua kubu cenderung imbang, bahkan Prabowo sedikit lebih unggul karena didukung oleh enam parpol, sementara Jokowi hanya empat. Well, semakin seru saudara-saudara!

Buku kumpulan analisis saham kuartalan edisi Kuartal I 2014 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.

Rabu, 07 Mei 2014

Ebook Analisis Kuartal I 2014

Analisis Saham Independen


Posted: 05 May 2014 01:27 AM PDT
Dear investor, seperti biasa setiap kuartal sekali, penulis membuat buku elektronik (ebook, dengan format PDF) yang berisi kumpulan analisis (“Ebook Kuartalan”), yang kali ini didasarkan pada laporan keuangan (LK) para emiten periode Kuartal I 2014 (Q1 2014). Ebook ini diharapkan akan menjadi panduan bagi anda untuk memilih saham yang bagus untuk trading, investasi jangka menengah, dan panjang.

Seperti ebook edisi sebelumnya, penulis akan bekerja sama dengan tim kecil untuk melakukan screening/pemilihan saham untuk dimasukkan kedalam ebooknya. Berikut adalah standar kriteria yang kami terapkan untuk memilih saham-saham yang akan dibahas di ebook ini.

  1. Sahamnya likuid. Kalaupun tidak terlalu likuid, maka paling tidak jangan sampai tidak likuid sama sekali
  2. Memiliki fundamental yang bagus, perusahaannya dikelola oleh manajemen yang bisa dipercaya
  3. Kalau bisa mencatat kenaikan laba atau ekuitas yang signifikan, serta miliki kinerja konsisten di masa lalu, dan
  4. Harganya wajar, atau paling tidak belum terlalu mahal (sudah termasuk mempertimbangkan posisi IHSG). 

Ebook ini akan terbit pada hari Senin tanggal 12 Mei 2014dan akan berisi analisis terhadap 30 buah saham pilihan (saat ini ebooknya tengah dikerjakan). Anda bisa memperoleh ebook-nya dengan cara preorder, keterangan selengkapnya baca disini.

Berikut screening ebooknya (edisi sebelumnya, klik untuk memperbesar).


Pekerjaan rutin seorang investor adalah mempelajari kondisi pasar, melakukan screening saham, menganalisis saham/perusahaan yang lolos screening tersebut secara mendetail termasuk mempelajari prospeknya, kemudian mengambil kesimpulan saham-saham mana saja yang layak beli, dan sebaiknya beli di harga berapa. Dengan berlangganan ebook ini maka itu seperti anda menyerahkan semua pekerjaan tersebut kepada penulis, sehingga anda kemudian tinggal membaca hasilnya saja. Dan sudah tentu, anda tidak perlu membayar mahal untuk itu.

Sekali lagi, untuk keterangan lebih lanjut baca disini. Info lebih lanjut bisa menghubungi Ms. Nury melalui Telp/SMS 081220445202 atau Pin BB 2850E045.
Posted: 05 May 2014 07:39 AM PDT
Akhir-akhir ini di media banyak beredar pemberitaan bahwa Koperasi Cipaganti Karya Graha Persada, atau disingkat Koperasi Cipaganti saja, mulai mengalami kesulitan dalam membayar imbal hasil/bunga bulanan kepada para investornya, dan sudah tentu para investor ini mulai ketar ketir, belum lagi pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) langsung angkat tangan terhadap masalah ini dan malah melemparnya ke pihak Kementerian Koperasi (tapi bener juga sih). Menariknya banyak orang yang menyangka bahwa perusahaan yang listing di BEI, yakni Cipaganti Citra Graha (CPGT) merupakan Koperasi Cipaganti tersebut, padahal bukan. Anyway, mari kita pelajari lebih lanjut tentang Koperasi Cipaganti ini, termasuk bagaimana kira-kira ending dari kasus keterlambatan pembayaran imbal hasilnya.

Koperasi Cipaganti, selanjutnya disebut ‘KC’, merupakan salah satu koperasi paling terkemuka di Indonesia. Yang dimaksud dengan ‘koperasi’ itu sendiri adalah badan hukum yang memiliki izin (dari Kementerian Koperasi) untuk mengumpulkan dana dari masyarakat, dalam hal ini masyarakat yang menjadi anggota koperasi itu sendiri, dimana dana tersebut akan digunakan untuk membiayai usaha tertentu. Jika anda hendak bergabung dengan KC, misalnya, maka anda akan menanda tangani semacam surat perjanjian di depan notaris bahwa anda telah bergabung menjadi anggota KC, dan bahwa anda akan menyetor dana sebesar sekian untuk dikelola oleh KC pada usaha tertentu, dan bahwa anda akan menerima bunga yang dibayarkan setiap bulan.

Koperasi adalah jenis badan hukum yang jauh lebih sederhana dari perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas atau PT, tapi sama-sama bisa memperoleh pendanaan dari luar. Jika anda memiliki sebuah PT, maka melalui PT tersebut anda bisa mengajukan pinjaman ke bank, menerbitkan saham, hingga menerbitkan obligasi. However, proses untuk melakukan itu semua tidaklah mudah. Ketika anda hendak pinjam dana ke bank, misalnya, maka anda harus menyediakan aset senilai sekian sebagai jaminan, dan PT tersebut juga harus sudah beroperasi sekian tahun serta memiliki track record yang bisa dipertanggung jawabkan.

Namun hal yang sama tidak berlaku untuk koperasi. Jika anda mengelola sebuah koperasi, maka selama anda bisa meyakinkan para calon investor untuk menempatkan dananya pada koperasi tersebut, then holaa.. you got the money! Anda tidak perlu memberikan jaminan apapun terhadap si investor, yang penting anda bisa secara rutin membayarkan bunga yang memang sudah dijanjikan setiap bulannya.

Konsep koperasi sendiri sebenarnya merupakan alternatif bagi orang atau sekelompok orang yang membutuhkan dana/modal untuk mengembangkan usaha tertentu, namun tidak memiliki akses ke perbankan apalagi pasar modal (kalau mau IPO). Jadi dengan adanya sistem koperasi ini, seorang pengusaha bisa memperoleh pinjaman modal dari teman-temannya sendiri yang kemudian ditampung dalam satu wadah yang disebut koperasi tadi. Koperasi ini dianggap sebagai ‘milik bersama’, baik investor maupun pengelola, walaupun pada hakekatnya yang memiliki akses terhadap dana yang ditampung di koperasi tersebut hanyalah pengelola/pengusaha itu tadi saja. Para investor pasif tidak bisa begitu saja menarik dana, atau mencairkan/menjual aset-aset yang dimiliki oleh koperasi, karena yang bisa melakukan itu hanya pengelola koperasi yang bersangkutan.

Kelemahan Sistem Koperasi

Sebagai investor saham, penulis tidak pernah berminat untuk menempatkan investasi di Koperasi, entah itu KC ataupun lainnya, karena: Pertama, saya belum pernah mendengar orang yang kaya dari koperasi. Kalau di saham, tidak sedikit investor yang sukses besar, tapi di Koperasi? Yang ada, semakin banyak orang yang menjadi anggota sebuah koperasi, misalnya KC, maka yang semakin sukses justru pengurusnya. I mean, jika anda hendak sukses dari Koperasi, maka anda harus mendirikan koperasi tersebut kemudian mengajak orang lain untuk bergabung, dan bukannya dengan ikut koperasi punya orang.

Kedua, ketika sebuah perusahaan membutuhkan dana untuk mengembangkan usaha, maka perusahaan akan secara jelas memperinci berapa dana yang dibutuhkan, akan digunakan untu apa dana tersebut, kemudian bisa mengajukan pinjaman ke bank, menerbitkan saham, atau menerbitkan obligasi. Ketika dana yang dibutuhkan sudah terkumpul, maka that’s it, acara penggalangan dananya selesai (perusahaan tidak lagi berusaha mengumpulkan dana), dan selanjutnya perusahaan bisa fokus pada pengembangan usaha menggunakan dana yang sudah terkumpul tadi. Contohnya, kalau anda ikut membeli saham IPO, dan ternyata jumlah saham yang tersedia lebih sedikit dari yang hendak anda beli, maka perusahaan yang bersangkutan tidak akan menerbitkan saham baru ataupun menaikkan harga sahamnya, melainkan jumlah saham yang anda terima tetap segitu, dan kelebihan uang yang anda bayarkan akan dikembalikan (makanya kemudian ada istilah oversubscribe).

Sementara koperasi? Entah bagaimana dengan kegiatan usaha yang mereka lakukan, namun yang jelas kegiatan penggalangan dananya dilakukan setiap saatdan hampir tidak pernah mengenal kata berhenti. Contohnya di KC, sampai sekarang mereka masih menerima investor baru, dan juga masih menerima tambahan setoran modal dari investor yang sudah ada. Pertanyaannya, ketika KC pada mulanya membutuhkan dana katakanlah Rp100 milyar untuk usaha tambang batubara, misalnya, maka ketika dana yang dikumpulkan dari masyarakat lebih besar dari itu, katakanlah mencapai Rp150 milyar, lalu akan dipakai untuk apa kelebihan modal senilai Rp50 milyar tersebut? Sementara untuk menemukan peluang usaha yang baru lagi, itu juga tidak mudah bukan?

Tapi bahkan hal itu tidak menghentikan koperasi untuk terus menarik dana dari masyarakat, dan hal ini mengingatkan penulis akan Skema Ponzi lagi. Kalau anda belajar sejarahnya, pencipta skema Ponzi, yakni Charles Ponzi, sebenarnya tidak sengaja dalam menciptakan skema tersebut. Pada tahun 1918, Charles, yang ketika itu bekerja di sebuah toko di Boston, Amerika Serikat, menerima surat dari sebuah perusahaan di Spanyol yang memintanya untuk mengirim katalog produk yang dijual tokonya. Didalam amplop surat tersebut, Charles menemukan sebuah kupon yang disebut international reply coupon (IRC), yang bisa ditukar dengan selembar perangko. Perusahaan Spanyol tadi menyertakan kupon IRC didalam suratnya agar Charles bisa menukar kupon tersebut dengan perangko, sehingga ia tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk mengirim katalog yang diminta ke Spanyol.

Menariknya, ketika Charles pergi ke Kantor Pos untuk menukar kupon tersebut dengan selembar perangko, ternyata yang didapat bukan selembar perangko, melainkan beberapa, padahal yang dibutuhkan hanya selembar. Peristiwa perang dunia kesatu menyebabkan terjadinya perbedaan nilai antara biaya pengiriman pos di Eropa dan Amerika, dimana selembar kupon IRC hanya bisa memperoleh selembar perangko di Italia atau Spanyol, namun di Amerika, kupon tersebut bisa ditukar dengan beberapa lembar perangko. Alhasil Charles jadi memperoleh sejumlah uang tunai ketika menjual kembali kelebihan perangko yang tidak digunakan.

Charles segera menyadari bahwa ia baru saja menemukan peluang bisnis disini. Ia langsung menemui teman-temannya untuk meminjam uang, dan berjanji kepada mereka bahwa ia akan mengembalikannya dalam waktu 90 hari, plus bunganya. Uang tersebut digunakan untuk membeli kupon IRC dari Spanyol, yang akan ia tukarkan dengan perangko di Amerika, kemudian perangko tersebut dijual untuk meraih keuntungan sekian kali lipat. Charles berhasil mengumpulkan uang US$ 1,250, dimana ia berjanji akan memberikan bunga sebesar US$ 750. Dan hanya dalam waktu 90 hari berikutnya, ia benar-benar membayar total US$ 2,000 kepada teman-temannya.

Dan tak lama kemudian, berita tentang ‘investasi mudah’ yang ditawarkan oleh Charles seketika booming. Teman-teman Charles tadi kembali meminjamkan uang kepadanya, bahkan dengan jumlah yang lebih besar, termasuk mengajak orang lain untuk bergabung. Dan Charles menerima berapapun uang yang dipercayakan kepadanya. Hanya dalam tempo kurang dari setahun, nilai investasi yang ia kelola melonjak dari US$ 1,250 menjadi US$ 420,000, dan terus saja naik.

Namun setelah beberapa waktu, Charles sudah tidak lagi membeli kupon IRC tadi karena supplier-nya di Spanyol sudah kehabisan stok, yang itu berarti ia sudah tidak lagi menghasilkan keuntungan, padahal dana investor terus berebut untuk masuk. Dan fatalnya, Charles membiarkan hal tersebut terjadi, hingga akhirnya ia terpaksa membayar bunga kepada investor lama menggunakan dana yang disetor oleh investor baru, karena memang ‘perusahaan investasinya’ sudah tidak lagi menghasilkan keuntungan.

Dan itulah awal mulai skema Ponzi yang terkenal. Bisa kita lihat disini bahwa Mr. Charles Ponzi ini pada awalnya tidak berniat untuk berbuat jahat atau menipu investornya, namun kesalahannya adalah dia terlalu serakah, dimana ia terus menampung dana yang masuk meski sebenarnya ia tidak mampu lagi mencetak keuntungan.

Nah, meski tidak sama persis, namun di Koperasi juga bisa saja terjadi hal yang sama, karena berbeda dengan perusahaan yang hanya menarik dana (dari bank, atau dari masyarakat melalui skema penjualan saham) sebesar sekian kemudian selesai, sebuah koperasi biasanya menampung berapapun dana yang disetor oleh anggotanya, padahal pengelola koperasi ini belum tentu mampu untuk terus menemukan peluang usaha yang baru. Terkait kenapa Koperasi Cipaganti (KC) terlambat dalam membayar bunga kepada para investornya, pihak pengelola mengatakan bahwa itu karena bisnis batubara yang mereka jalani sedang lesu karena turunnya harga batubara, sehingga mereka kesulitan dalam memutar modal yang diperoleh dari anggota koperasi (investor). Tapi jika demikian maka kenapa sampai hari ini KC masih menerima setoran modal dari nasabah? Jawabannya ya, karena mereka itu koperasi!

However, ini bukan berarti KC menjalankan skema Ponzi, dan juga tidak ada bukti terkait hal itu. Namun yang penulis penulis garis bawahi disini adalah, ketika bisnis batubara yang dijalani KC lesu, lalu bagaimana KC akan memutar dana milik para anggota koperasi, sementara jumlah setoran dana juga terus bertambah?

Itu yang kedua. Yang ketiga, semua orang selalu mengatakan bahwa yang namanya investasi itu ada risikonya. Termasuk menempatkan dana di koperasi, itu juga ada risikonya. Tapi yang terkadang dilupakan orang disini adalah, risiko sudah pasti ada, namun seberapa besar risiko tersebut? Dan apakah setimpal dengan tingkat imbal hasil yang bisa diperoleh?

Nama ‘Koperasi Cipaganti’ mendadak tenar belakangan ini hanya karena pengelolanya terlambat dalam membayar bunga bulanan kepada para investor (entah terlambat atau memang tidak dibayarkan, who knows), padahal selama bertahun-tahun sebelumnya bunga bulanan tersebut selalu lancar dibayarkan (dan itu pula sebabnya KC sukses menjadi besar). Namun karena adanya peristiwa ini, para investor seketika ‘sadar’ bahwa modal mereka mungkin saja tidak balik lagi. Sebab jika untuk membayar bunga-nya saja KC mengalami kesulitan, lalu bagaimana dengan pokok investasinya? Katakanlah anda menyetor Rp100 juta ke KC, dan dijanjikan akan menerima bunga sebesar 1.5% per bulan, alias Rp1.5 juta. Tapi jika untuk Rp1.5 juta itu saja KC tidak bisa membayarnya, lalu bagaimana mereka akan mengembalikan setoran modal anda yang sebesar Rp100 juta tadi?

Dan hal inilah yang seringkali dilupakan oleh investor koperasi. Ketika KC mampu dengan rutin membayar bunga kepada investornya, maka investor pun akan merasa tenang, dan berpikir bahwa modalnya nggak kemana-mana. Tapi ketika KC mulai macet dalam pembayaran bunga tersebut, maka barulah investor akan sadar bahwa modal mereka bisa saja tidak kembali sama sekali. Padahal sejak awal, hanya karena koperasi lancar membayar bunga, itu tidak menjadi jaminan bahwa modal yang anda tempatkan tidak akan hilang! Katakanlah KC rutin membayar bunga 1.5% per bulan selama setahun, sehingga total keuntungan yang anda peroleh adalah 18%. Tapi setelah akhir tahun, dana anda ternyata tidak bisa ditarik sama sekali, bagaimana tuh? Ya itu berarti, kerugian yang anda derita menjadi jauh lebih besar ketimbang bunga yang sudah anda peroleh, benar begitu bukan?

Jadi dalam hal ini, penulis menganggap bahwa investasi di koperasi memiliki risiko yang tidak setimpal dengan potensi keuntungan yang bisa diperoleh. Kalau anda beli saham A di harga Rp1,000, misalnya, dan ternyata itu merupakan keputusan yang keliru, dimana anda terpaksa harus cut loss di harga Rp900. Maka meskipun anda rugi, namun uang anda masih ada sisanya bukan? Memang, ada juga beberapa kasus dimana seorang investor saham bisa menderita kerugian hingga 100%, dimana perusahaannya bangkrut sama sekali, sahamnya di-suspend dan tidak dicabut lagi, harga sahamnya mati di gocap, dan seterusnya. Tapi penulis sendiri rasa-rasanya belum pernah ketemu investor saham yang ‘habis’ seperti itu. Pada tahun 1998, Pak Lo Kheng Hong pernah merugi hingga 90%, dan mungkin itu adalah ‘rekor’ kerugian terburuk yang pernah dialami oleh seorang investor saham. Tapi toh beliau sukses bangkit lagi, dan malah jadi investor besar hingga saat ini.

Sementara di koperasi, in case dimana koperasi tidak sanggup lagi membayar bunga maupun pokok investasi para nasabahnya, maka aset-aset milik koperasi bisa dilikuidasi kemudian dananya dibagikan kepada para nasabah. Tapi dalam prakteknya, penulis belum pernah mendengar ada koperasi yang melakukan hal tersebut. Termasuk dalam kasus KC, kasusnya masih tarik ulur sampai sekarang. Beberapa nasabah mengalami kesulitan dalam menarik pokok investasinya, beberapa lancar saja, dan selebihnya macet sama sekali.

Kesimpulan

Koperasi Cipaganti adalah salah satu koperasi yang sudah cukup lama beroperasi di Indonesia (kalau gak salah sudah lebih dari 10 tahun), dan selama itu hampir tidak pernah ada masalah dengan para investornya. Jika belakangan ini mereka kesulitan dalam membayar bunga bulanan, maka itu adalah karena adanya peristiwa yang tidak bisa dihindari, yakni penurunan harga batubara dan mungkin juga masalah di bisnis lainnya yang dijalani oleh KC (kalau gak salah ada bikin hotel juga, tapi pembangunannya mandek). Jadi kurang lebih sama lah seperti perusahaan batubara yang sempat untung besar di tahun 2011, namun kesininya laba mereka turun drastis dan sahamnya pun ikut turun, dan alhasil menyebabkan kerugian bagi para investor yang memegang sahamnya.

Dan berbeda dengan perusahaan batubara yang langsung ‘angkat bahu’ ketika investor protes kenapa sahamnya turun (apalagi Bakrie, jangan harap bisa ketemu mereka deh), manajemen KC cukup bertanggung jawab dengan paling tidak bersedia bertemu dengan para investor (terakhir tanggal 3 Mei kemarin). Persoalannya adalah, karena KC ini sudah terlanjur besar, maka investornya juga sangat banyak, dan alhasil kasusnya jadi booming. Penulis terus terang tidak tahu bagaimana kira-kira kelanjutan dari masalah KC ini, namun dengan ukuran dana kelolaan yang pastinya sudah jauuuuh lebih besar ketimbang sekian tahun yang lalu, jelas tidak mudah bagi KC untuk memutar dana kelolaan tersebut agar bisa memperoleh keuntungan yang paling tidak cukup untuk membayar bunga kepada para investor. Tapi kalau kita melihat bahwa sektor batubara perlahan tapi pasti mulai pulih kembali, maka mungkin juga terdapat harapan bahwa pada akhirnya nanti bisnis batubara yang dijalani KC ini kembali pulih, dan mereka juga kembali mampu membayar kewajibannya kepada para investor seperti biasa.

Kemudian terkait PT Cipaganti Citra Graha, Tbk (CPGT) yang listing di bursa, itu bukan Koperasi Cipaganti/KC, karena tidak mungkin sebuah koperasi bisa IPO (CPGT ini sebuah PT, bukan koperasi). CPGT merupakan salah satu anak usaha dari Grup Cipaganti yang khusus bergerak di bidang jasa transportasi, travel wisata, dan penyewaan alat-alat berat. Sementara untuk bisnis batubara dan lainnya, itu dipegang oleh anak usaha Grup Cipaganti yang lain lagi (jadi CPGT sama sekali tidak mengelola bisnis batubara). Sementara KC, karena dia bukan merupakan perusahaan, maka secara struktur perusahaan bukan merupakan bagian dari Grup Cipaganti. Namun KC adalah salah satu pemegang saham dari CPGT, dalam hal ini sebanyak 4.4% per April 2014.

Grup Cipaganti adalah salah satu grup usaha paling terkemuka di Indonesia, tapi sekaligus yang paling unik karena mereka juga mengelola sebuah koperasi, yakni Koperasi Cipaganti ini (meskipun tidak melalui grup-nya), dimana anggotanya terbuka untuk umum (kalau koperasi milik grup usaha lain kan, biasanya keanggotaannya terbatas untuk pihak internal, misalnya koperasi karyawan PT ABCD, dan seterusnya). Jadi sayang sekali kalau reputasinya yang baik selama ini harus tercoreng hanya karena masalah KC ini. Well, namun bisnis apapun selalu ada risikonya bukan?

Penulis menyelenggarakan seminar/training investasi saham di Jakarta, hari Sabtu tanggal 17 Mei 2014 mendatang. Keterangan selengkapnya baca disini.

Kamis, 01 Mei 2014

Belajar dari Kasus Penipuan Investasi

Beberapa hari terakhir ini di media-media baik cetak maupun elektronik, sedang ramai dibicarakan kasus dugaan penipuan investasi oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS), dengan perkiraan nilai kerugian nasabah hingga Rp600 milyar, tapi ada juga yang bilang hingga Rp10 trilyun. Manapun yang benar, tetap saja itu adalah jumlah kerugian yang tidak sedikit. Namun kasus ini adalah yang kesekian kalinya terjadi di negeri ini, dengan modus yang selalu sama: Penipuan berkedok investasi dengan iming-iming keuntungan besar dalam waktu singkat. Nah, actually kasus ini tidak berkaitan langsung dengan investasi kita di saham, tentu saja, namun penulis kira tetap penting untuk dibahas untuk memberikan informasi kepada masyarakat yang mungkin masih awam tentang apa itu investasi. Okay here we go!

GTIS dulunya merupakan perusahaan jual beli emas biasa dengan nama PT Golden Traders Indonesia (GTI). Pada tahun 2011, perusahaan menambahkan kata ‘Syariah’ di belakang namanya, sehingga berubah menjadi PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Di tahun ini pula, perusahaan (mengaku) memperoleh sertifikat ‘telah memenuhi prinsip syariah’ dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbekal klaim bahwa usahanya ‘halal dan islami’, GTIS kemudian memasarkan produk investasinya melalui berbagai media, terutama melalui sistem referral yaitu setiap nasabah akan diminta untuk mencari nasabah lagi (kurang lebih seperti sistem Multilevel Marketing alias MLM). Dalam tempo singkat yakni hanya 2 tahun, perusahaan ini berkembang sangat pesat dan berhasil mendirikan tiga belas kantor yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Dalam setiap promosinya, GTIS memiliki tagline yang sangat menarik: ‘Udah gak jaman investasi emas hanya mengandalkan fluktuasi harga. Nikmati kepastian keuntungan sebesar 2% setiap bulan hanya di Golden Traders Indonesia’.

Kepastian keuntungan? Are you out of mind? Sejak kapan ada investasi yang mampu menjamin bahwa investasi tersebut pasti untung tanpa memaparkan risikonya sama sekali?

Kembali ke GTIS. GTIS menawarkan produk investasi berupa pembelian emas, baik fisik maupun hanya berupa sertifikat, dengan tawaran keuntungan sebesar 2 – 4.5% per bulan, dibayarkan secara tunai.  Jadi kalau anda beli produk investasinya senilai Rp100 juta, misalnya, maka setiap bulan anda akan menerima bunga, atau bonus, atau apapun itu namanya, sebesar Rp2 – 4.5 juta, ditransfer langsung ke rekening bank anda. Produk investasi ini dijamin dengan surat perjanjian buy back guarantee, dimana pihak GTIS akan membeli kembali emas yang dipegang nasabah dengan harga yang sama dengan harga pembelian. So, katakanlah anda membeli emas dari GTIS senilai Rp100 juta. Maka dalam setahun, anda akan memperoleh bunga minimal Rp2 juta x 12 bulan = Rp24 juta, dan setelahnya anda bisa menjual emas yang anda pegang kepada GTIS, untuk memperoleh modal anda kembali yang sebesar Rp100 juta tadi. Well, dapet keuntungan minimal 24%, dan tanpa risiko pula, karena emas yang anda pegang dijamin akan bisa dibeli kembali oleh pihak GTIS. Jadi ‘investasi’ ini kurang menarik apa lagi coba?

Namun ada beberapa hal yang menarik seputar ‘produk investasi’ yang ditawarkan GTIS ini:

Satu. Nasabah harus membeli emas yang dijual GTIS pada harga yang lebih tinggi ketimbang harga emas pasaran, dengan selisih harga sekitar 20 – 30%. Artinya jika harga emas di pasaran adalah Rp500,000 per gram, maka nasabah harus membayar Rp600 – 650,000 untuk setiap gram emas yang mereka peroleh. Tidak ada keterangan dari pihak GTIS soal kenapa harga emas yang mereka jual lebih tinggi. Biasanya mereka (melalui agen-nya) hanya mengatakan bahwa meski harga emas yang mereka jual lebih tinggi, namun nasabah tidak perlu khawatir, karena nanti toh GTIS akan membeli kembali emas tersebut pada harga yang sama, bahkan kalau harga pasaran emas ternyata turun. Selain itu si agen biasanya menambahkan bahwa harga emas akan naik terus, sehingga si nasabah tidak mungkin rugi (jadi sekali lagi, risiko investasinya nol!)

Dua. Tidak ada keterangan dari mana pihak GTIS memperoleh dana untuk membayar bunga bagi para nasabahnya. Berdasarkan informasi yang dihimpun Kontan.co.id, GTIS mengaku bahwa mereka membeli emas dengan harga murah dari UBS (Untung Bersama Sejahtera) dan menjualnya di Singapura dengan harga tinggi. Keuntungan dari selisih harga itulah yang kemudian dipakai untuk membayar bunga kepada para nasabah. Tapi tidak ada keterangan lebih lanjut soal siapa itu UBS, dan di Singapura sebelah mana mereka jualan emas.

Tiga. Nasabah hanya bisa membeli produk melalui agen. Agen ini biasanya merupakan nasabah GTIS juga, dan ia memperoleh komisi untuk setiap nasabah baru yang ia bawa. Alhasil jika anda bergabung untuk menjadi nasabah, maka anda sekaligus akan menjadi agen, dan anda bisa memperoleh keuntungan tambahan berupa komisi tadi. Tapi kalaupun anda tidak memperoleh nasabah, maka itu tidak jadi masalah.

Nah, dari ketiga poin diatas, apa yang bisa anda simpulkan? Benar sekali. GTIS ini menjalankan Skema Ponzi (Ponzi Scheme). Skema Ponzi adalah sistem investasi palsu dimana perusahaan investasi membayar keuntungan/bunga kepada investor dari uang si investor itu sendiri, atau dari uang investor berikutnya. Dikatakan palsu, karena dana yang dihimpun dari investor tidak pernah digunakan untuk membiayai usaha tertentu untuk menghasilkan keuntungan. Biasanya investasi ini menawarkan keuntungan yang luar biasa dalam waktu singkat dengan risiko yang sangat rendah, atau bahkan risikonya nol. Biasanya pula, si investor atau nasabah akan menerima pembayaran bunga secara rutin selama beberapa waktu, sehingga ia kemudian merasa tidak ada masalah sama sekali, atau bahkan menambah kembali investasinya. Tapi setelah ia menyetor seluruh dana yang ia miliki, dan juga sudah membawa banyak nasabah baru, maka barulah timbul masalah, mulai dari macetnya pembayaran bunga, hingga modal yang ternyata tidak bisa ditarik kembali.

Charles Ponzi, pencipta skema Ponzi sekaligus inspirator bagi para bandi-bandit penipu
di seluruh dunia. Gambar diambil dari situs Wikipedia

Ending dari kejadian seperti ini biasanya berupa lenyapnya modal yang ditanamkan para nasabah, karena dilarikan oleh Direktur atau siapapun dari perusahaan investasi (atau koperasi, atau apapun namanya) yang bersangkutan. Penjahat paling terkenal dari kasus penipuan seperti ini adalah Bernard Madoff, mantan Chairman Bursa NASDAQ, dan saat ini sudah dipenjara dengan masa hukuman 150 tahun.

Sementara di Indonesia, penipuan Skema Ponzi ini bukan kasus baru, melainkan sudah terjadi berulang kali hanya dengan kemasan yang berbeda-beda. Sebut saja Tambang Emas Busang, Qurnia Subur Alam Raya, Dressel, VGMC, Koperasi Langit Biru, Raihan, hingga GTIS. Dalam kasus GTIS, ‘kemasan’ tersebut adalah investasi emas. Bunga yang dibayarkan kepada si nasabah berasal dari selisih harga emas yang lebih tinggi dibanding harga pasaran tadi.

Definisi Investasi

Dalam beberapa kali kesempatan seminar, penulis selalu memaparkan kepada peserta mengenai definisi dari investasi. Simpelnya, investasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis:

Satu, investasi pada aset tetap. Yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset yang harganya terus meningkat untuk menyesuaikan diri dengan inflasi, namun nilai dari aset itu sendiri sebenarnya tidak banyak berubah kecuali sedikit. Contohnya anda membeli tanah kosong seluas 1 hektar dengan harapan bahwa harganya akan naik dalam beberapa waktu kedepan. Sejatinya, nilai dari tanah tersebut tidak akan naik, terutama jika tidak dilakukan pengembangan (dibuat bangunan diatasnya, dll). Namun jika anda beli tanah tersebut pada tahun 1990 pada harga Rp100 juta, misalnya, maka harganya pada hari ini tidak mungkin masih Rp100 juta juga, melainkan mungkin sudah milyaran.

Dalam definisi investasi yang lebih sempit, maka tindakan investasi dengan cara membeli tanah diatas tidak bisa disebut sebagai investasi, melainkan lebih merupakan tindakan melindungi mata uang dari inflasi. Jika tanah yang bersangkutan dikembangkan menjadi rumah kontrakan, misalnya, dan rumah kontrakan tersebut memberikan keuntungan berupa uang sewa setiap bulannya, maka itu baru bisa disebut sebagai investasi, karena aset tanah/rumah kontrakan tersebut kini memberikan ‘dividen’ berupa uang sewa bulanan tadi. But still, inipun belum merupakan ‘investasi penuh’, karena tidak menawarkan kenaikan nilai aset (jumlah kamar kontrakan tidak akan bertambah), kecuali jika anda secara rutin membangun kamar kontrakan yang baru.

Lalu yang kedua, investasi pada aset bertumbuh. Jika anda membeli kambing untuk diternakkan (tentunya setelah anda menunjuk peternak yang handal), maka itu bisa disebut sebagai investasi pada aset bertumbuh, karena jumlah kambing anda akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu (beranak pinak). Investasi seperti inilah yang menurut penulis bisa disebut sebagai The Real Investment, karena memberikan dua macam keuntungan yakni: Dividen (setiap kali anda memperoleh uang dari penjualan seekor kambing), dan kenaikan nilai aset (jumlah kambing anda akan terus bertambah). Tidak perlu lagi ditanyakan keuntungan dari kenaikan harga aset, karena harga jual dari kambing anda akan terus naik setiap tahun (ini pengalaman penulis sendiri setiap kali nyari kambing buat merayakan Idul Adha).

Meski demikian investasi anda pada usaha ternak kambing tersebut mengandung beberapa risiko yang bisa menyebabkan penurunan pada nilai investasi anda (baca: kerugian). Misalnya peternak yang anda tunjuk ternyata tidak cukup mahir, terjadi wabah penyakit yang menyebabkan cacat pada ternak atau bahkan kematian, kenaikan harga pakan, hingga penurunan harga jual kambing karena persaingan dengan peternakan lain. Intinya, dibalik potensi keuntungan yang mungkin diraih dalam investasi peternakan kambing diatas, terdapat unsur risiko yang tidak bisa diabaikan. Dan memang begitulah, faktor potensi keuntungan sekaligus risiko kerugian merupakan dua sisi mata uang yang tidak pernah bisa dipisahkan dalam setiap kegiatan berinvestasi, apapun bentuknya.

Unsur risiko yang kita bahas diatas juga terdapat dalam investasi pada aset tetap. Bedanya, dalam berinvestasi pada aset tetap, unsur risiko tersebut jauh lebih rendah meski bukan berarti tidak ada sama sekali. Ketika anda beli tanah, maka harganya tidak akan turun kecuali jika terjadi gempa bumi, banjir, atau krisis moneter, tapi disisi lain keuntungan yang ditawarkan juga hanya berupa kenaikan harga saja, dan anda tidak memperoleh kenaikan nilai ataupun kuantitas (Ketika anda beli tanah 1 hektar, misalnya, maka sampai kapanpun tanah itu akan tetap seluas 1 hektar dan gak akan bertambah menjadi 2 hektar. Ini berbeda dengan kambing tadi yang bisa beranak pinak menjadi puluhan bahkan ratusan ekor). Karena itulah investor yang sudah berpengalaman biasanya menempatkan investasinya pada dua macam aset, yakni aset tetap dan aset bertumbuh. Tujuannya selain untuk diversifikasi, juga untuk menekan risiko terjadinya kerugian (aset tetap), namun disisi lain dengan tetap mengejar keuntungan yang substansial (aset bertumbuh).

Investasi vs ‘Investasi’

Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan investasi adalah kegiatan yang paling tidak memenuhi unsur-unsur berikut:

  1. Potensi keuntungan berupa dividen, bunga, atau laba
  2. Potensi keuntungan berupa kenaikan nilai aset, dan biasanya kenaikan harga juga
  3. Usaha yang jelas, dimana modal diputar di usaha tersebut untuk menghasilkan dua macam keuntungan diatas, dan
  4. Risiko kerugian.
Nah, balik lagi ke masalah GTIS diatas, menurut anda apakah itu bisa disebut sebagai investasi? Jelas tidak. ‘Produk Investasi’ yang ditawarkan GTIS tersebut memberikan dividen/bonus minimal 2% setiap bulannya, tapi tidak jelas dari mana pihak GTIS akan memperoleh dana untuk membayar bonus tersebut, selain juga tidak ada faktor risiko yang jelas (malah pake jaminan segala lagi, bahwa bunga yang 2% per bulan itu pasti dibayar, bullshit). Kalau anda baca lagi diatas, salah satu unsur dari kegiatan investasi adalah adanya potensi keuntungan, bukan kepastian keuntungan. Bahkan jika anda membeli obligasi yang menawarkan bunga alias fixed income sekalipun, anda tetap saja menanggung risiko tidak memperoleh keuntungan apa-apa atau bahkan mengalami kerugian, jika si perusahaan ternyata tidak bisa membeli/menebus obligasi itu kembali.

Kembali ke GTIS, disisi lain kalau dikatakan bahwa produk investasi yang ditawarkan GTIS adalah investasi pada aset tetap (karena pake emas), lalu kenapa nasabah harus membeli emasnya pada harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga pasaran? Kalau gitu mending beli emas biasa aja ateuh, terus disimpen di brankas dan taroh brankasnya di loteng, beres!

(Btw, terkait membeli aset pada harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga pasaran atau harga normalnya, maka anda juga harus hati-hati dalam membeli aset tetap berupa tanah/properti, jika tujuannya adalah untuk investasi. Belakangan ini banyak sekali pengembang properti yang dengan sengaja menaik-naikkan harga properti yang mereka jual, untuk memberikan kesan bahwa pembeli pasti untung karena harga rumah/apartemen yang mereka beli naik terus. Namun kenaikan tersebut seringkali tidak wajar (tentu saja, namanya juga kenaikan yang dibuat-buat), sehingga sering kejadian si pembeli membeli properti yang bersangkutan pada harga yang kelewat mahal, dan akhirnya dia bukannya untung tapi malah rugi)

Anyway, kasus GTIS diatas, termasuk kasus-kasus penipuan investasi lainnya, memang akan selalu ada sampai kapanpun, selama orang-orang selalu tertarik untuk memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat. So, berikut adalah beberapa tips untuk melindungi anda agar tidak terjebak kasus penipuan yang sama:

Satu, hati-hati dengan tawaran keuntungan yang kelewat besar. Di Indonesia, persentase keuntungan yang wajar untuk investasi dalam bidang apapun, adalah antara 7 hingga 20% per tahun (kita tidak menghitung deposito disini, karena bunga 4.5% per tahun terlalu kecil untuk menutupi penurunan nilai Rupiah karena inflasi), termasuk bunga obligasi biasanya sekitar 10 - 12% per tahun. Okay, penulis tidak menutup fakta bahwa kalau investasi di saham, banyak juga investor yang mampu mencetak keuntungan yang jauh lebih tinggi dibanding 20% per tahun. Namun kalau kita pakai patokan kenaikan IHSG dalam jangka panjang, tepatnya sejak puncak krisis moneter tahun 1998 lalu dimana ketika itu IHSG jatuh ke posisi 276 sebagai titik terendahnya, maka rata-rata kenaikan IHSG dalam lima belas tahun terakhir (1998 – 2013, hingga posisi terbarunya saat ini yaitu 4,825) adalah 19.6% per tahun.

So, jika anda ditawari investasi dengan return yang jauh lebih besar dari 20% tadi, maka hati-hati karena itu kemungkinan merupakan investasi bodong. Karena sejauh yang penulis pelajari, tidak ada instrumen investasi yang menawarkan potensi gain yang lebih tinggi ketimbang investasi di saham (tapi disisi lain, investasi di saham juga merupakan investasi paling berisiko diantara investasi-investasi lainnya). Kalau 'investasi' di forex, bursa berjangka, dll, itu bukan investasi, melainkan trading (tapi di saham anda juga bisa trading kok, meski penulis sendiri lebih suka invest karena lebih santai).

Dua, hati-hati dengan tawaran investasi yang menjanjikan keuntungan/bonus/dividen/bunga yang akan dibayar dalam waktu singkat, dalam hal ini setiap bulan. Wajarnya, investasi jenis apapun menawarkan bagi hasil atau return setahun sekali, dan itu sebabnya perusahaan juga hanya membagi dividen setahun sekali kepada para pemegang saham, atau setahun dua kali untuk perusahaan yang sudah benar-benar mapan.

Tapi memang untuk beberapa jenis investasi ada sedikit perbedaan. Jika anda menabung di bank, bunga yang anda peroleh dibayarkan setiap bulan. Dan jika anda membeli obligasi, maka anda juga akan menerima bunga setiap tiga bulan. Tapi berapa sih bunga tabungan bank dan obligasi? Cuma 2 dan 12% per tahun. Artinya? Perusahaan (atau bank) bisa membayar bunga kepada anda dalam waktu singkat, jika nilai dari bunga itu sendiri sangat kecil. Sementara jika nilainya besar, katakanlah 24% per tahun seperti GTIS diatas, maka sangat tidak wajar jika bunga tersebut bisa dibayarkan setiap bulan.

Tapi GTIS itu tidak seberapa.. Penulis ingat dulu waktu jaman kuliah juga pernah ditawari investasi yang menjanjikan keuntungan yang dibayar tiap minggu, bahkan tiap hari! Sempet percaya juga, tapi untungnya ketika itu penulis gak jadi bergabung karena memang gak punya duitnya.

Tiga, hati-hati dengan tawaran investasi tanpa penjelasan yang mendetail bahwa uang anda akan diputar di usaha apa, termasuk tidak ada penjelasan mengenai risiko kerugian. Tawaran investasi apapun yang hanya fokus pada potensi keuntungan yang akan diterima oleh calon investor, namun tidak ada penjelasan mengenai jenis dan risiko usaha, apalagi sampai menjamin bahwa investasinya pasti untung, maka itu sudah pasti merupakan penipuan. You know, investasi model apapun selalu ada risikonya, termasuk jika anda naruh uang di deposito pun juga ada risikonya, yaitu jika bank yang bersangkutan sewaktu-waktu kolaps (makanya kemudian ada Lembaga Penjamin Simpanan/LPS, tapi itupun hanya bisa menjamin dana nasabah bank sebesar maksimal Rp2 milyar). Jadi jika ada kenalan yang menghampiri anda kemudian mengatakan, ‘Bro, ada peluang investasi nih, dijamin untung! Mau nggak?’ Maka sudah pasti ia berniat menipu anda, entah disengaja ataupun tidak.

Ada lagi? Nggak, cuma tiga itu saja kok. Satu lagi nasihat yang bagus agar anda terhindar dari kasus penipuan seperti ini adalah, ingat bahwa something that is too good to be true, is typically not true at all. Tapi penulis yakin anda sudah sering mendengar kalimat tersebut.

Investasi di Saham

Lalu bagaimana dengan investasi di saham? Pada dasarnya, investasi di saham adalah investasi pada aset bertumbuh: Anda membeli saham dengan harapan bahwa nilai aset anda akan naik seiring dengan kenaikan nilai perusahaan yang tercermin pada kenaikan harga sahamnya, plus keuntungan berupa bagian laba bersih yang dihasilkan perusahaan (dividen). Kenaikan nilai perusahaan biasanya berasal dari laba bersih ditahan (retained earnings) yang digunakan untuk menambah modal untuk ekspansi usaha, misalnya bikin kantor cabang baru, mendirikan pabrik baru, merekrut lebih banyak pegawai untuk meningkatkan produksi, dll. Kenaikan nilai perusahaan (yang kemudian tercermin pada kenaikan harga sahamnya) biasa disebut capital gain, dan merupakan sumber keuntungan utama bagi para investor, karena keuntungan dari dividen biasanya sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah modal yang dikeluarkan (biasanya hanya 3% per tahun, kalau mencapai 6% maka sudah sangat bagus).

Namun jangan salah, ternyata di saham juga ada penipuan skema ponzi, meski mekanismenya tidak sepenuhnya sama dengan skema ponzi pada kasus GTIS diatas, yaitu: Sering kejadian harga saham dibuat melambung tinggi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga investor/trader yang membelinya memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat, tapi bukan dari kenaikan nilai perusahaan, melainkan dari investor lain yang membeli saham tersebut kemudian. Artinya? Keuntungan yang diperoleh investor yang sudah membeli saham tersebut sejak dari awal, diperoleh dari kerugian yang diderita investor yang membeli belakangan. Saham model begini biasa disebut saham gorengan, dan dari dulu sampai sekarang dan mungkin sampai kapanpun, akan selalu ada saja saham-saham seperti ini.

Jadi bagaimana cara menghindari agar tidak terjebak ‘saham ponzi’ tersebut? Well, kita sudah membahasnya berkali-kali di website ini, coba anda search lagi artikelnya. Yang jelas tips dari penulis agar anda tidak terjebak ‘investasi saham bodong’ tersebut adalah: 1. Hindari spekulasi, 2. Berinvestasilah dengan akal sehat, jangan mudah tergiur oleh keuntungan instan, dan 3. Teliti sebelum membeli.

Yeah.. I know, tips-tips diatas mudah untuk dikatakan tapi susaaah sekali untuk di praktekkan. But well.. just try it, will you? Anyway, artikel ini sudah kelewat panjang, jadi kita lanjutkan lagi pekan depan.

Belajar Valuasi: Kepentingan Non-Pengendali



Analisis Saham Independen


Posted: 01 May 2014 01:30 AM PDT
Beberapa waktu lalu penulis menerima email pertanyaan dari seorang teman, yang isinya kurang lebih sebagai berikut: ‘Mas Teguh, di artikel tentang Toba Bara Sejahtra (TOBA), disebutkan bahwa laba bersih TOBA untuk Kuartal I 2014 adalah US$ 7.7 juta. Tapi saya lihat di koran ditulis labanya US$ 12.8 juta. Mana yang benar?’ Penulis katakan, dua-duanya benar. Lho kok bisa? Well, penjelasannya sebagai berikut.

Secara keseluruhan, TOBA mencatat laba bersih US$ 12.8 juta pada Kuartal I 2014, dimana dari laba tersebut US$ 7.7 juta diantaranya menjadi milik pemegang saham perusahaan, atau disebut juga pemilik perusahaan/entitas induk, dan selebihnya menjadi milik kepentingan non-pengendali, atau disebut juga kepentingan minoritas. Ini artinya jika anda memegang 100% saham TOBA, maka laba yang anda peroleh adalah US$ 7.7 juta, sementara selebihnya merupakan hak milik dari pihak lain yang turut menyetor modal/aset ke perusahaan tanpa menjadi pemegang saham perusahaan, dan juga tidak memegang kendali atas operasional perusahaan (sehingga disebut kepentingan non pengendali).

Lebih jelasnya, kepentingan non pengendali adalah bagian kepemilikan atas anak perusahaan yang tidak dipegang oleh perusahaan induk, melainkan dipegang oleh pihak lain. Contohnya, TOBA merupakan induk dari PT Adimitra Baratama Nusantara, dimana TOBA memegang 51% saham Adimitra, dan 49% sisanya dipegang oleh pihak lain. Karena TOBA merupakan pemegang saham mayoritas Adimitra, maka Adimitra dianggap sebagai anak perusahaan dimana aset-aset Adimitra dikonsolidasikan kedalam aset-aset TOBA (aset-aset Adimitra dianggap sebagai bagian dari aset-aset TOBA), termasuk 49% aset yang sebenarnya dipegang oleh pihak lain tadi. Nah, pada laporan keuangan TOBA, 49% aset Adimitra yang dipegang oleh pihak lain ini dianggap sebagai kepentingan non pengendali.

Perusahaan-perusahaan besar di BEI yang memiliki banyak anak perusahaan biasanya memiliki akun kepentingan non pengendali di laporan keuangannya, karena biasanya saham/kepemilikan dari anak-anak perusahaan ini tidak mereka pegang secara keseluruhan, melainkan sebagian dipegang oleh pihak lain. Ketika Agung Podomoro Land (APLN) mendirikan Mall Senayan City (Sency), perusahaan bekerja sama alias patungan dengan beberapa perusahaan lain, namun APLN tetap menjadi pemegang saham mayoritas dari Sency tersebut (51% atau lebih), sehingga seluruh aset Sency tetap dikonsolidasikan kedalam aset perusahaan. Namun bagian kepemilikan atas Sency yang tidak dipegang/dimiliki oleh APLN inilah, yang pada laporan keuangan APLN dicatat sebagai kepentingan non pengendali.

Yang perlu digaris bawahi disini adalah, aset perusahaan yang merupakan kepentingan non pengendali ini bukan milik pemegang saham. Pada Kuartal I 2014, APLN mencatat nilai ekuitas Rp7.4 trilyun, dimana Rp1.3 trilyun diantaranya merupakan kepentingan non pengendali, sehingga bagian ekuitas yang dimiliki pemegang saham APLN adalah Rp6.1 trilyun. Jadi ketika anda membeli sekian lot saham APLN, misalnya, maka anda menjadi salah seorang pemilik dari aset bersih APLN yang nilainya Rp6.1 trilyun tadi, dan bukannya Rp7.4 trilyun, karena terdapat bagian aset APLN sebesar Rp1.3 trilyun yang bukan merupakan milik perusahaan.

Penulis sendiri baru sadar belakangan ini kalau faktor kepentingan non pengendali ini sangat penting untuk diperhatikan, sebab bisa menyebabkan misleading dalam menentukan valuasi saham. Contohnya, Astra International (ASII) mencatat total ekuitas Rp113.1 trilyun pada Kuartal I 2014, sehingga PBV-nya pada harga saham 7,425 adalah 2.7 kali, alias cukup murah untuk ukuran saham blue chip. Namun jika kita hanya memperhitungan ekuitas ASII yang bersih diluar kepentingan non pengendali, yang nilainya Rp88.9 trilyun, maka PBV-nya menjadi 3.4 kali, alias mahal. Secara akuntansi, bisa jadi metode valuasi ASII yang hanya memperhitungkan ekuitas diluar kepentingan non pengendali keliru, karena kepentingan non pengendali itu jelas ditulis sebagai bagian dari ekuitas. However, untuk alasan konservatif, maka penulis sendiri mulai saat ini hanya mengambil ekuitas diluar kepentingan non pengendali, dalam menghitung PBV sebuah saham.

Itu terkait ekuitas, yang secara langsung berhubungan dengan PBV suatu saham. Sementara terkait laba perusahaan, keberadaan kepentingan non pengendali juga penting untuk diperhatikan. Contohnya TOBA tadi, yang pada Kuartal I 2014 mencatat laba US$ 12.8 juta (laba tahun berjalan, bukan laba komprehensif), namun hanya US$ 7.7 juta yang menjadi milik pemegang saham perusahaan, atau istilahnya ‘diatribusikan kepada pemilik entitas induk’. Alhasil, EPS TOBA juga dihitung berdasarkan laba yang US$ 7.7 juta ini, sehingga EPS-nya adalah US$ 0.004 per saham, dan annualized PER-nya pada harga saham 840 menjadi 4.8 kali.

Jika anda perhatikan, pada laporan keuangan perusahaan manapun, EPS yang ditampilkan memang sudah dihitung berdasarkan laba bersih yang menjadi milik pemegang saham perusahaan, diluar kepentingan non pengendali. Jadi angka PER yang anda peroleh ketika membagi harga sebuah saham dengan EPS perusahaannya adalah sudah tepat. However, ketika menghitung PBV, masih banyak analis/investor (termasuk penulis juga sih) yang turut memasukkan ekuitas yang sebenarnya bukan milik pemegang saham, yakni kepentingan non pengendali tadi, dan alhasil angka PBV yang diperoleh bisa jadi lebih rendah dibanding yang seharusnya.

Okay, penulis kira penulis sudah menyampaikan apa yang memang perlu disampaikan. Kita ketemu lagi minggu depan, mungkin soal Koperasi Cipaganti (banyak yang nanyain, mungkin karena artikel saya yang ini).

NB: Buletin analisis IHSG & rekomendasi saham bulanan edisi Mei akan terbit tanggal 2 Mei mendatang (bukan tanggal 1 seperti biasanya, karena akan memasukkan rekap analisis dari laporan keuangan terbaru). Anda bisa memperolehnya disini.