Rabu, 16 Juli 2014

Ebook Analisis Kuartal II 2014

Analisis Saham Independen


Posted: 15 Jul 2014 07:16 PM PDT
Dear investor, seperti biasa setiap kuartal sekali, penulis membuat buku elektronik (ebook, dengan format PDF) yang berisi kumpulan analisis (“Ebook Kuartalan”), yang kali ini didasarkan pada laporan keuangan (LK) para emiten periode Kuartal II 2014 (Q2 2014). Ebook ini diharapkan akan menjadi panduan bagi anda untuk memilih saham yang bagus untuk trading, investasi jangka menengah, dan panjang.

Seperti ebook edisi sebelumnya, penulis akan bekerja sama dengan tim kecil untuk melakukan screening/pemilihan saham untuk dimasukkan kedalam ebooknya. Berikut adalah standar kriteria yang kami terapkan untuk memilih saham-saham yang akan dibahas di ebook ini.

  1. Sahamnya likuid. Kalaupun tidak terlalu likuid, maka paling tidak jangan sampai tidak likuid sama sekali
  2. Memiliki fundamental yang bagus, perusahaannya dikelola oleh manajemen yang bisa dipercaya
  3. Kalau bisa mencatat kenaikan laba atau ekuitas yang signifikan, serta miliki kinerja konsisten di masa lalu, dan
  4. Harganya wajar, atau paling tidak belum terlalu mahal (sudah termasuk mempertimbangkan posisi IHSG). 
Ebook ini akan berisi analisis terhadap 30 buah saham pilihan, dan akan terbit pada hari Senin, tanggal 11 Agustus 2014. Anda bisa memperoleh ebook-nya dengan cara preorder disini.

Berikut screening ebooknya (salah satu edisi sebelumnya, klik untuk memperbesar).

Pekerjaan rutin seorang investor adalah mempelajari kondisi pasar, melakukan screening saham, menganalisis saham/perusahaan yang lolos screening tersebut secara mendetail termasuk mempelajari prospeknya, kemudian mengambil kesimpulan saham-saham mana saja yang layak beli, dan sebaiknya beli di harga berapa. Dengan berlangganan ebook ini maka itu seperti anda menyerahkan semua pekerjaan tersebut kepada TH & Partners, sehingga anda kemudian tinggal membaca hasilnya saja. Dan sudah tentu, anda sama sekali tidak perlu membayar mahal untuk itu.

Ebook ini terbit pertama kali pada September 2010, dan edisi kali ini merupakan edisi keenam belas. Bagi anda yang belum pernah berlangganan ebook ini sebelumnya, atau baru pertama kali mengunjungi teguhhidayat.com, boleh baca contoh-contoh analisis yang sudah pernah disajikan secara terbuka di website ini:

  1. Resource Alam Indonesia (KKGI)
  2. Indofood Sukses Makmur (INDF)
  3. Mitrabahtera Segara Sejati (MBSS)
  4. Adira Dinamika Multifinance (ADMF)
  5. Jasa Marga (JSMR)
  6. Astra International (ASII), dan seterusnya.
Sekali lagi, untuk keterangan lebih lanjut baca disini. Jika ada yang hendak ditanyakan bisa menghubungi Ms. Nury melalui Telp/SMS 081220445202 atau Pin BB 2850E045.
Posted: 16 Jul 2014 02:28 AM PDT
Apa yang terlintas di kepala anda ketika mendengar kata ‘Chitose’? Kalau penulis sih, saya langsung teringat dengan kursi-kursi lipat yang suka ada di acara-acara kondangan. Dan Chitose International (CINT) adalah memang merupakan perusahaan produsen kursi lipat (folding chair) paling terkemuka di Indonesia. Namun pada saat ini CINT tidak hanya membuat kursi lipat saja, melainkan membuat berbagai produk furniture umum untuk dijual ke perusahaan event organizer (untuk mereka sewakan ke acara pernikahan dll), gedung-gedung kantor, residensial, hotel, restoran, sekolah, hingga rumah sakit. Untuk kedepannya perusahaan masih memiliki sejumlah rencana pengembangan usaha, dimana kebutuhan dananya diperoleh dari IPO-nya pada bulan Juni 2014 kemarin.

Sejarah perusahaan dimulai pada tahun 1980, dimana Chitose Manufacturing Japan, sebuah perusahaan kursi lipat asal Jepang, membuka pabrik pertamanya di Indonesia (tepatnya di Cimahi) dibawah bendera PT Chitose Indonesia. Dua puluh tahun kemudian yakni pada tahun 2000, terjadi perubahan kepemilikan perusahaan dimana PT Chitose Indonesia diakuisisi oleh PT Tritirta Inti Mandiri, sebuah perusahaan lokal yang juga merupakan pemilik dari PT Trisula International (TRIS, perusahaan garment asal Bandung), sehingga Chitose berubah status dari perusahaan Jepang menjadi perusahaan lokal, namun nama Chitose tetap dipertahankan sebagai nama perusahaan. Pada tahun-tahun berikutnya, perusahaan terus menjalin hubungan kerja dengan perusahaan-perusahaan Jepang untuk membuat kursi dan meja lipat serta untuk mengekspor produk-produk furniture ke Jepang.

Pada tahun 2012, Chitose mengakuisisi lima perusahaan distributor yang tersebar di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Denpasar, sehingga perusahaan kini memiliki unit distributor sendiri (sebelumnya Chitose selalu mendistribusikan produk-produknya melalui pihak ketiga). Pada tahun 2013, PT Chitose Indonesia berubah nama menjadi PT Chitose International, dan sukses go public setahun kemudian dengan CINT sebagai kode sahamnya.

Ada beberapa hal yang membuat CINT sangat bisa dipertimbangkan untuk investasi. Pertama, CINT merupakan pemimpin pasar di seluruh jenis produk furniture-nya tanpa terkecuali, selain karena merk ‘Chitose’ merupakan merk kursi lipat paling populer di Indonesia. Berdasarkan data dari lembaga riset Markplus, per tahun 2014, CINT memegang pangsa pasar antara 24 – 38% (terbesar diantara semua kompetitornya) untuk produk-produk kursi dan meja, baik yang bisa dilipat maupun tidak, yang biasa digunakan oleh hotel, restoran, foodcourt, kantor, dan sekolah.

Kedua, CINT mencatatkan track record pertumbuhan yang meyakinkan dalam tiga belas tahun terakhir. Pada tahun 2001, atau setahun ketika manajemen yang baru mengambil alih perusahaan, CINT hanya memproduksi 13 varian kursi dan meja. Tapi sekarang? CINT sudah memiliki lebih dari 300 varian produk! Dan kesemuanya sukses menjadi pemimpin di pasarnya masing-masing. Kesuksesan ini terutama karena perusahaan mampu menjalin hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan Jepang dalam hal transfer teknologi (untuk pembuatan kursi) dan juga memiliki pelanggan tetap di Jepang sana. CINT juga sukses dalam hal memasarkan produk-produknya hingga ke pelosok nusantara, dimana pada saat ini perusahaan memiliki kantor-kantor pemasaran yang tersebar di 22 kota besar di Indonesia, dari Medan sampai Jayapura. Jika itu belum cukup, maka sejak beberapa tahun terakhir CINT juga memasarkan produk-produknya secara online, dalam hal ini dengan bekerja sama dengan salah satu toko online termuka di Indonesia, Rakuten (www.rakuten.co.id).

Nah, kalau dibandingkan dengan perusahaan furniture yang satunya lagi, yakni Gema Grahasarana (GEMA), maka CINT memiliki keunggulan dalam hal produk-produknya bisa dibeli secara online. Sementara kalau anda mau beli furniture merk Vivere (merk furniture milik GEMA), maka anda harus datang ke gerai-nya. Harga dari furniture yang dijual CINT juga lebih murah, sehingga pangsa pasarnya otomatis lebih luas dan perputaran barangnya lebih cepat. Pada tahun 2013, CINT mencatatkan inventory turnover sebesar 7.2 kali, yang itu artinya perusahaan bisa memutar persediaan produknya hingga lebih dari tujuh kali dalam setahun. Dan untuk ukuran perusahaan manufaktur, jujur saja, itu adalah angka turnover yang sangat baik.

Dan yang ketiga, jika selama ini perusahaan hanya mengandalkan pabrik satu-satunya yang berlokasi di Cimahi, maka kedepannya perusahaan akan mendirikan satu lagi pabrik baru (masih di Cimahi) untuk menambah kapasitas produksi, dimana kebutuhan dananya diperoleh dari IPO-nya kemarin. Dari IPO-nya tersebut, CINT memperoleh dana sekitar Rp99 milyar, dimana itu sudah cukup untuk memenuhi semua kebutuhan pendirian pabrik baru, mulai dari membeli lahan, konstruksi pabrik serta gudang, pembelian mesin-mesin dan alat-alat berat, dan modal kerja.

Yang menarik disini adalah, jika anda perhatikan, Rp99 milyar bukanlah dana yang terlalu besar untuk ukuran perusahaan yang terdaftar di bursa saham Indonesia. Jadi penulis pribadi cukup terkesan bahwa ‘hanya’ dengan dana segitu perusahaan bisa mendirikan pabrik baru (jadi gak perlu ngutang, sehingga neraca perusahaan praktis menjadi sehat), dan bahkan masih ada sisanya untuk mendirikan ruang-ruang pamer (showroom) dengan konsep flagship shop (toko khusus Chitose, dengan plang nama Chitose yang buessaaaar dan kelihatan dari pinggir jalan) di kantor-kantor pemasaran milik perusahaan di Jabodetabek dan Jawa Timur. Flagship shop ini tentunya diharapkan akan semakin meningkatkan volume penjualan dari produk-produk yang dibuat perusahaan.

Sudah tentu, pabrik baru serta flagship shop tadi baru akan beroperasi nanti, dalam hal ini tahun 2016, karena proses pembangunannya membutuhkan waktu. Namun tanpa mengharapkan pabrik baru tersebut sekalipun, track record pertumbuhan kinerja CINT dalam lima tahun terakhir cukup mengesankan. Berikut datanya, angka dalam milyaran Rupiah. Perhatikan nilai pendapatan CINT yang setiap tahunnya selalu jauh lebih besar dibanding nilai ekuitas perusahaan:

Tahun
2009
2010
2011
2012
2013
Ekuitas
40
45
58
71
185
Pendapatan
210
224
239
254
288
Laba Bersih
13
18
20
23
42

Yang perlu dicatat disini adalah, laba CINT senantiasa meningkat dalam lima tahun terakhir ketika volume produksi kursi dan mejanya sama sekali tidak bertambah. Pada tahun 2008, CINT memproduksi 1.22 juta unit furniture berbagai jenis. Dan lima tahun kemudian yakni pada tahun 2013, volume produksi tersebut malah turun sedikit menjadi 1.18 juta unit. Hal ini karena satu-satunya pabrik milik perusahaan hanya memiliki kapasitas produksi maksimal 1.3 juta unit per tahun.

Jadi menarik untuk melihat nanti ketika CINT memperoleh tambahan kapasitas produksi dari pabriknya yang baru, dimana jika ketika itu pasar furniture masih bagus seperti saat ini, maka pendapatan serta laba perusahaan seharusnya akan melonjak signifikan. Margin laba perusahaan juga menjadi lebih baik sejak tahun 2012, setelah CINT memiliki distributornya sendiri.

Okay, lalu bagaimana dengan sahamnya?

Pasca IPO, nilai ekuitas CINT akan menjadi kurang lebih Rp280 milyar. Dengan market cap Rp348 milyar pada harga Rp348 per lembar saham (jumlah saham beredar perusahaan adalah persis 1 milyar lembar) maka CINT mencatat PBV-nya adalah 1.2 kali. Actually, ini harga yang sangat murah untuk perusahaan yang punya nama besar, memiliki perputaran bisnis yang cepat (jadi gampang jualannya), dan memiliki rasio keuntungan yang sangat besar (rata-rata ROE-nya diatas 25%). Penulis tidak tahu kenapa kok CINT ini nggak terbang dan hanya naik sedikit setelah dia IPO-nya, tapi yang jelas ini menjadi kesempatan bagi kita sebagai bargain hunter.

Satu-satunya risiko yang mungkin anda tanggung kalau anda invest di CINT ini adalah ketergantungan perusahaan terhadap baja jenis stainless steel untuk bahan baku pembuatan kursi dan meja. Dan harus diakui, perusahaan mencatatkan peningkatan keuntungan yang signifikan dalam dua tahun terakhir karena harga baja itu sendiri sedang turun. Selain itu kalau anda perhatikan saham GEMA sebagai sesama perusahaan furniture, maka GEMA juga relatif murah tapi toh nggak naik-naik juga, selain sahamnya sendiri tidak likuid (CINT juga kemungkinan tidak akan likuid).

However, undervalue is undervalue. Seperti halnya GEMA yang, meski belum naik, tapi juga sulit untuk turun karena sudah murah, maka demikian pula halnya dengan CINT. Dan jika laporan keuangan terbaru CINT nanti masih mencatatkan kinerja yang sama baiknya seperti periode sebelumnya, maka sahamnya pun tidak akan butuh waktu lama untuk take off. We’ll see.

PT Chitose International, Tbk
Rating Kinerja pada 2013: AAA
Rating Saham pada 348: A

NB: Anda bisa men-download prospektus lengkap CINT disini.

Selasa, 10 Juni 2014

Resource Alam Indonesia

Analisis Saham Independen


Posted: 10 Jun 2014 12:40 AM PDT
Dalam beberapa kali kesempatan ngobrol santai dengan Bapak Lo Kheng Hong, beliau menyampaikan bahwa terdapat setidaknya dua saham di sektor batubara yang sangat menarik untuk investasi karena valuasinya yang rendah. Dua saham tersebut adalah Bumi Resources (BUMI), dan Resource Alam Indonesia (KKGI). Untuk BUMI, well, penulis pribadi punya pendapat yang sedikit berbeda. Namun untuk KKGI, saham ini memang menarik, dan itu bukan karena ‘romantisme masa lalu’ dimana KKGI ini sempat menghasilkan cuan besar ketika naik sampai 8,000-an di awal tahun 2012 lalu, melainkan karena valuasinya yang rendah, prospeknya yang cerah, dan perusahaannya sendiri juga tidak bermasalah. Anyway, kita langsung sajalah.

Ketika berdiri pada tahun 1981, KKGI aslinya merupakan perusahaan produsen lem kayu dengan lokasi pabrik di Pontianak, Kalimantan Barat, dan Palembang, Sumatera Utara. Pada awal tahun 2000-an perusahaan melihat peluang di bisnis tambang batubara, dan pada tahun 2006 KKGI akhirnya resmi mengoperasikan tambang batubara pertamanya yang berlokasi di Kalimantan Timur, melalui anak usahanya yakni PT Insani Bara Perkasa (IBP). Setahun kemudian yakni pada tahun 2007, KKGI sukses mencatatkan produksi batubara perdana sebanyak 178 ribu ton.

Logo KKGI. 'RAIN' adalah kependekan dari Resource Alam Indonesia
Kemudian seiring dengan kegiatan produksi dan eksplorasi yang dilakukan secara terus menerus, volume produksi batubara KKGI terus meningkat hingga mencapai puncaknya yakni 4.2 juta ton pada tahun 2011, sementara jumlah cadangan batubara yang sudah berstatus terbukti tercatat 80 juta ton, alias masih sangat cukup untuk belasan tahun kedepan.

Namun pada tahun 2012 industri batubara mulai lesu seiring dengan penurunan harga jual batubara dari US$ 110 menjadi US$ 65 per ton, sehingga volume produksi KKGI juga ikut turun, termasuk juga pendapatan dan labanya. Dan kondisi itu terus berlanjut hingga tahun 2013. However, selama periode 2012 – 2013 tersebut perusahaan tetap menjalani kegiatan usaha dan ekspansi seperti biasa, seperti: 1. Membangun infrastuktur jalan raya dan pelabuhan untuk transportasi batubara, termasuk mendirikan 3 anak usaha yang bergerak di bidang infrastruktur tambang, 2. Melanjutkan eksplorasi, dan 3. Menambah portofolio tambang dengan mengakuisisi tambang-tambang batubara diluar tambang yang sudah ada.

Khusus untuk poin yang ketiga, pada tahun 2013 KKGI mengakuisisi PT Kaltim Mineral dan PT Loa Haur, dua-duanya merupakan perusahaan pemilik tambang batubara di Kalimantan Timur dan Tengah, sehingga KKGI kini memiliki tiga tambang batubara di tiga lokasi yang terpisah. Sejauh ini baik Kaltim Mineral maupun Loa Haur masih belum beroperasi karena masih menunggu kenaikan harga batubara, namun dua tambang tersebut sudah dieksplorasi dan memiliki cadangan total 40 juta ton, yang semestinya akan kembali meningkat di masa yang akan datang (ketika eksplorasinya dilanjutkan). Jika harga jual batubara pada tahun 2014 ini naik menjadi US$ 82 – 88 per ton seperti yang diharapkan oleh manajemen KKGI, maka tambang Loa Haur akan segera beroperasi dengan target produksi 1 – 1.5 juta ton untuk tahun 2014. Sebab berbeda dengan Kaltim Mineral yang masih harus mengurus beberapa perizinan untuk bisa mulai menggali batubara, Loa Haur sudah sepenuhnya siap berproduksi.

Jadi bisa dibilang bahwa kalau nanti harga batubara pada akhirnya pulih ke US$ 82 per ton saja (gak perlu balik lagi ke US$ 110 seperti tahun 2011 lalu), maka pendapatan serta laba KKGI akan meningkat signifikan tidak hanya karena meningkatnya margin laba, tetapi juga karena meningkatnya volume batubara yang dijual. Pihak perusahaan sendiri mentargetkan volume produksi 5.7 juta ton batubara untuk tahun 2014, dan itu hanya berasal dari tambang-tambang yang sudah beroperasi milik Insani Bara Perkasa (belum termasuk tambahan volume produksi dari tambang Loa Haur, jika tambang tersebut jadi beroperasi).

Nah, berdasarkan ulasan diatas kita bisa melihat bahwa KKGI ini menarik karena menawarkan lompatan pertumbuhan ketika nanti harga batubara pulih. Tapi kalau cuma itu sih, bukankah semua perusahaan batubara juga begitu? Yap, itu benar, namun berikut ini adalah beberapa hal lain yang membuat KKGI ini menarik:

  1. Manajemennya tipe konservatif dimana perusahaan tidak memiliki utang bank, obligasi, atau semacamnya, but still, mereka mampu untuk mengakuisisi tambang baru menggunakan keuntungan yang diperoleh dari operasional tambang yang sudah ada (Insani Bara Perkasa). Posisi neraca KKGI yang sangat sehat secara otomatis menjamin bahwa jika nanti harga batubara mulai pulih, maka laba bersih perusahaan akan secara otomatis melompat tanpa hambatan.
  2. Posisi aset perusahaan sangat bagus dengan jumlah dana kas yang sedikit (yang itu artinya KKGI selalu memberdayakan aset-asetnya, dan tidak membiarkan aset yang menganggur), posisi aset lancar dan aset tidak lancarnya cenderung berimbang, dan tidak ada aset yang tidak ada hubungannya dengan industri tambang.
  3. Bisnis perusahaan terkonsentrasi hanya di menggali batubara, kemudian jual. Dan dibanding industri-industri lain yang masih terkait seperti transportasi batubara, kontraktor, hingga pembangkit listrik, maka tambang batubara menawarkan margin laba yang terbesar bahkan meski sudah dikurangi royalti untuk pemerintah, yang terus naik setiap tahunnya.
  4. Tidak seperti beberapa perusahaan yang murni tambang batubara seperti Indo Tambangraya (ITMG), Harum Energy (HRUM), dan Bukit Asam (PTBA) yang jor-joran dalam membagikan dividen setiap tahunnya (yang itu berarti pihak manajemen sudah puas dengan bisnis batubara yang ada dan tidak mengincar pertumbuhan yang lebih lanjut bagi perusahaan), KKGI hanya membagikan dividen dalam jumlah yang wajar, yakni sekitar setengah dari laba bersih perusahaan setiap tahunnya, sementara selebihnya dipakai untuk mengembangkan perusahaan. Kalau anda perhatikan perusahaan-perusahaan besar dan bagus seperti ASII, BBRI, dan SMGR, mereka juga membagikan dividen dalam jumlah yang wajar (rata-rata separuh laba perusahaan), sehingga bisa dikatakan bahwa mereka menghargai investor dengan membayar sejumlah dividen, namun sekaligus tetap mengejar peluang pertumbuhan dengan menginvestasikan kembali laba bersih perusahaan.

Dan hal yang berbeda yang dilakukan oleh KKGI adalah, manajemen menyisihkan sebagian dana kas-nya untuk membeli kembali saham perusahaan di pasar (buy back), dan hal itu memang sudah dilakukan sehingga jumlah saham beredar KKGI telah berkurang dari 1 milyar menjadi 900 juta lembar, karena perusahaan telah mem-buy back 100 juta lembar saham KKGI dari pasar. Secara teknis, buy back saham yang dilakukan manajemen KKGI menyebabkan kenaikan persentase kepemilikan investor atas perusahaan. Simpelnya, jika anda memegang 1 juta lembar saham KKGI, maka sebelum dilakukan buy back, anda adalah pemegang 0.10% saham KKGI, karena jumlah saham KKGI yang beredar adalah 1 milyar lembar. Namun setelah buy back, maka jumlah saham anda tetap 1 juta lembar, namun persentase kepemilikan anda atas perusahaan meningkat menjadi 0.11%, karena jumlah saham KKGI yang beredar telah berkurang menjadi 900 juta lembar.

Kalau kita pakai contoh Warren Buffett, beliau sangat menyukai jika Coca Cola atau American Express melakukan buy back saham mereka sendiri, sebab itu akan membuat persentase kepemilikan Berkshire Hathaway atas dua perusahaan tersebut menjadi meningkat dengan sendirinya tanpa perlu Buffett keluar dana untuk membeli lagi saham mereka di pasar. Sementara meski posisi ekuitas Coca Cola akan sedikit turun (karena perusahaan keluar duit untuk membeli sahamnya kembali), namun itu nggak jadi soal karena pada akhirnya ekuitas Coca Cola akan meningkat kembali seiring dengan perolehan laba perusahaan.

Kemudian bagaimana dengan sahamnya?

Dari sisi kualitas fundamentalnya secara keseluruhan, KKGI salah satu perusahaan batubara terbaik di BEI, bersanding dengan PTBA, ITMG, dan HRUM, dan sekaligus yang paling kecil diantara keempatnya sehingga lebih menawarkan prospek pertumbuhan jangka panjang (dan itu pula sebabnya dividen KKGI nggak terlalu besar). Ketika sektor batubara mengalami masa jayanya pada penghujung tahun 2011, kinerja KKGI bahkan merupakan yang terbaik diantara semuanya hingga sahamnya pun sempat terus naik hingga berada di level yang amat sangat optimis, yakni 8,000-an. Ketika itu penulis masih ingat, PBV KKGI ini bahkan sempat menembus 10 kali.

Lalu bagaimana kalau di harga sekarang? Well, pada harga 1,570, PBV dan PER KKGI tercatat masing-masing 7.6 dan 1.8 kali, dan dividend yield-nya 6.4% (perusahaan membagikan dividen Rp100 per saham, tanggal cum-nya 26 Juni). Actually harga ini belum terlalu ideal mengingat prospek kinerja KKGI kedepannya masih bergantung pada perkembangan harga batubara, sementara pada Kuartal I 2014 kemarin pendapatan laba KKGI masih turun (jadi bisa saja dividen KKGI di tahun depan juga turun).

Tapi ketika dulu penulis sempat menunggu saham ini di 1,100-an (PBV dibawah 1.5 kali), ternyata nggak dikasih juga, yang kemungkinan itu karena: 1. Tindakan manajemen yang telah membeli saham KKGI dipasar otomatis membuat jumlah saham yang tersedia untuk dijual menjadi lebih sedikit karena manajemen tidak akan menjual kembali saham tersebut, dan alhasil permintaan (bid) akan saham KKGI lebih besar dari penawarannya (offer), sehingga harganya pun terjaga di level yang tidak terlalu rendah, dan 2. KKGI masih merupakan perusahaan yang menguntungkan dengan tingkat return on equity (ROE) KKGI yang besar, yakni 24% di Kuartal I 2014 (padahal labanya masih turun). Sementara pada tahun 2011, ROE KKGI bahkan tercatat 69%.

Yang juga perlu diperhatikan adalah, KKGI telah mengeluarkan kira-kira Rp150 milyar untuk membeli sahamnya di harga 1,500-an per saham. Make it simple, jika nanti harga saham KKGI sudah kembali pulih, dan KKGI bisa kembali melepas saham tersebut di harga yang lebih tinggi, katakanlah 2,500, maka ekuitas perusahaan akan bertambah sekitar Rp250 milyar bukan? Dan itu adalah angka penambahan yang besar karena posisi ekuitas KKGI pada saat ini hanya US$ 77 juta atau setara Rp891 milyar. However, manajemen KKGI belum menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka akan menjual kembali saham hasil buy back-nya. Termasuk ketika beberapa bulan lalu KKGI sempat naik sampai hampir saja balik lagi ke 3,000-an, saham hasil buy back tersebut masih di hold.

Kesimpulannya, kalau anda tertarik dengan saham ini maka coba untuk menunggunya di harga yang paling tidak lebih rendah dari harga buy back-nya, alias dibawah 1,500. Tapi jika mau hajar di harga sekarang maka ada baiknya menunggu pendapatan perusahaan tercatat naik kembali di Kuartal II nanti, atau jika nanti perusahaan mengumumkan bahwa tambang Loa Haur-nya mulai berproduksi. Target harganya? Konservatifnya sih 2,000 karena PER KKGI akan tercatat 9.7 kali di harga tersebut. Tapi jika nanti KKGI sukses mencatat kenaikan laba di Kuartal II mendatang, maka tentu targetnya bisa kita naikkan.

PT. Resource Alam Indonesia, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal I 2014: BBB
Rating saham pada 1,570: A

NB: Penulis menyelenggarakan training/seminar investasi saham dengan tema value investing, pada hari Sabtu tanggal 21 Juni 2014 di Jakarta. Keterangan selengkapnya baca disini.



Senin, 02 Juni 2014

15 Prinsip Investasi ala Buffett

Analisis Saham Independen


Posted: 02 Jun 2014 01:59 AM PDT
Pada bulan Juni 1996, chairman Berkshire Hathaway, Warren Buffett, merilis sebuah buku kecil berjudul ‘An Owner’s Manual’, yakni semacam buku panduan bagi investor pemegang saham Berkshire. Buku tersebut berisi 13 plus 2 prinsip Berkshire dalam berbisnis, atau dalam hal ini: Berinvestasi. Ketiga belas prinsip tersebut sudah diciptakan oleh Buffett sejak tahun 1983, dan seluruhnya masih relevan hingga saat ini, atau paling tidak seperti itulah yang dikatakan Buffett di Annual Letter-nya yang terakhir, yakni edisi tahun 2013. Nah, disini penulis akan mengajak anda untuk juga membaca prinsip-prinsip ala Buffett tersebut, tentunya yang sudah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Okay, kita langsung saja:


Kepada Yth., para pemegang saham di Berkshire Hathaway

1. Meskipun Berkshire Hathaway adalah sebuah korporasi, namun kami tetap mengelolanya dengan gaya partnership/kemitraan. Saya dan Charlie Munger menganggap bahwa para pemegang saham Berkshire merupakan mitra dalam kapasitasnya sebagai pemilik perusahaan, sementara kami adalah mitra dalam kapasitas kami sebagai pengelola sekaligus juga pemilik perusahaan (karena kami juga memegang saham Berkshire dalam jumlah signifikan). Kami tidak memandang Berkshire sebagai pemilik akhir dari aset-aset yang dipegang perusahaan, melainkan hanya sebagai penyalur/perantara antara pemegang saham Berkshire dengan aset-aset tersebut. Intinya, aset-aset yang dipegang oleh Berkshire adalah merupakan milik anda sekalian sebagai pemegang saham Berkshire Hathaway.

Saya dan Charlie tidak ingin anda menganggap saham Berkshire sebagai selembar kertas tanpa arti yang harganya naik turun setiap saat sesuai mekanisme pasar, kemudian menjualnya hanya karena anda gugup ketika terjadi peristiwa tertentu terkait ekonomi maupun politik. Kami berharap bahwa anda bisa melihat diri anda sendiri sebagai salah seorang pemilik dari aset-aset bisnis yang anda miliki melalui Berkshire, dan bahwa anda akan menjadi pemilik dari aset-aset tersebut tidak hanya untuk saat ini saja, melainkan untuk seterusnya, sama seperti anda memiliki dan tinggal rumah atau apartemen secara bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga anda.

Sementara kami sendiri tidak ingin melihat pemegang saham Berkshire sebagai orang-orang yang hanya datang dan pergi hingga kami tidak pernah mengenal mereka itu siapa. Kami berharap bahwa kami bermitra dengan pemegang saham yang memiliki keyakinan bahwa partnership ini akan memberikan keuntungan jangka panjang hingga akhir hayat.

Volume transaksi perdagangan saham Berkshire yang tidak likuid, sejauh ini membuktikan bahwa sebagian besar pemegang saham Berkshire menyetujui konsep kemitraan jangka panjang seperti yang sudah diuraikan diatas, dimana para pemegang saham Berkshire tidak menjual sahamnya kembali.

Dan ketika seorang pemegang saham telah setuju untuk menjadi partner kami, maka mereka harus memandang saham Berkshire dengan cara pandang yang sama seperti ketika Berkshire memegang saham-saham perusahaan tertentu. Sebagai pemegang saham minoritas dari, katakanlah, Coca Cola atau American Express, kami menganggap Berkshire adalah merupakan partner non pengendali di dua perusahaan yang luar biasa, dimana kami menilai kesuksesan investasi kami (di dua perusahaan tersebut) bukan berdasarkan pergerakan harga sahamnya dari bulan ke bulan, melainkan berdasarkan perkembangan fundamental perusahaan dalam jangka panjang. Bahkan, kami juga tidak peduli andaikata saham Coca Cola dan American Express sama sekali tidak diperdagangkan di bursa selama bertahun-tahun.

Karena kami memiliki ekspektasi jangka panjang terhadap kinerja perusahaan, maka perubahan harga saham dalam jangka pendek sama sekali tidak berarti apapun kecuali merupakan kesempatan untuk meningkatkan persentase kepemilikan kami terhadap dua saham diatas, jika kebetulan harganya atraktif alias murah.

2. Sejalan dengan cara investasi kami, yakni dengan memandang perusahaan sebagai milik kami sepenuhnya, maka sebagian besar para direktur di Berkshire adalah juga merupakan pemegang saham Berkshire, dimana mereka menempatkan sebagian besar dari harta kekayaan mereka disini. Jadi yah, dalam berinvestasi, kami seperti menyantap masakan kami sendiri.

Charlie dan keluarganya menempatkan lebih dari 80% harta kekayaan mereka di saham Berkshire, sementara saya lebih dari 98%. Selain itu beberapa anggota keluarga saya, seperti saudari dan sepupu, juga memegang saham Berkshire dalam jumlah besar.

Saya dan Charlie merasa nyaman dengan kebijakan ‘menempatkan hampir seluruh telur hanya dalam satu keranjang’, yakni saham Berkshire Hathaway, karena Berkshire sendiri memiliki banyak perusahaan-perusahaan bagus yang bergerak di berbagai sektor. Malah, kami percaya bahwa Berkshire Hathaway merupakan sebuah bisnis yang unik karena mampu memegang banyak aset-aset/perusahaan yang bagus secara terdiversifikasi, baik sebagai pemegang saham mayoritas maupun minoritas.

Saya dan Charlie tidak bisa menjanjikan anda keuntungan. Namun, kami bisa menjamin bahwa pertumbuhan aset investasi anda akan sejalan dengan pertumbuhan harta kekayaan kami sebagai sesama pemegang saham Berkshire. Kami tidak tertarik dengan gaji besar, opsi saham, atau apapun yang bisa menyebabkan kami memperoleh keuntungan lebih besar dari yang anda terima. Lebih jauh, ketika saya melakukan sesuatu yang bodoh, maka saya harap anda mengetahui secara persis bahwa kerugian finansial yang anda derita adalah sama besarnya dengan kerugian finansial yang kami alami.

3. Visi Perusahaan: Dalam jangka panjang, tujuan kami adalah untuk memaksimalkan angka pertumbuhan tahunan dari aset bersih Berkshire Hathaway, berdasarkan pertumbuhan nilai intrinsik perusahaan. Kami tidak mengukur kinerja Berkshire berdasarkan pertumbuhan aset perusahaan, melainkan hanya berdasarkan pertumbuhan nilai intrinsik dari sahamnya. Kami akan kecewa jika rata-rata pertumbuhan kami dari tahun ke tahun lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan perusahaan-perusahaan besar di Amerika.

4. Misi Perusahaan: Untuk mencapai tujuan kami diatas, kami memiliki dua buah metode khusus. Yang pertama, kami secara langsung membeli/memiliki perusahaan-perusahaan yang terdiversifikasi, yang mampu menghasilkan keuntungan tunaidan secara konsisten mencatatkan nilai pengembalian modal (return of capital) diatas rata-rata. Kedua, kami membeli perusahaan-perusahaan tadi melalui anak-anak usaha kami di bidang asuransi. Jika ada perusahaan bagus dan harganya cocok sehingga bisa dibeli, sementara unit usaha asuransi kami juga sedang memegang uang cash, maka kami akan membeli perusahaan tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir kami telah mengakuisisi beberapa perusahaan besar. Meskipun kedepannya mungkin akan ada tahun-tahun dimana akuisisi tersebut belum akan menghasilkan apa-apa, namun kami berharap bahwa investasi yang kami lakukan akan menghasilkan keuntungan yang signifikan dalam satu atau dua dekade mendatang. Jika akuisisi-akuisisi yang kami lakukan memberikan hasil yang sama baiknya dengan apa yang telah kami lakukan di masa lalu, maka pemegang saham Berkshire juga akan diuntungkan.

Tantangan terbesar bagi kami adalah bagaimana caranya agar kami mampu untuk terus menghasilkan ide dalam hal mengakuisisi perusahaan, sekaligus menghasilkan uang tunai untuk keperluan akuisisi tersebut. Terkait hal ini, kondisi dimana pasar saham sedang turun akan memberikan kami tiga keuntungan. Pertama, akan ada banyak saham-saham bagus yang dijual pada harga rendah. Kedua, unit-unit asuransi kami juga akan dengan mudah menemukan saham bagus yang dijual murah, atau menambah kepemilikan kami atas saham-saham yang sudah kami pegang sebelumnya. Dan ketiga, beberapa perusahaan yang sahamnya kami pegang secara minoritas, seperti Coca-Cola, adalah juga merupakan pembeli siaga dari saham-saham mereka sendiri, dimana itu berarti mereka, dan juga kami, akan diuntungkan dari meningkatnya persentase kepemilikan kami atas perusahaan, dimana kami bisa melakukan itu (membeli saham Coca-Cola di pasar) pada harga rendah.

Secara umum, Berkshire dan juga para pemegang saham perusahaan akan diuntungkan setiap kali terjadi penurunan indeks pasar saham, sama seperti pelanggan toko sembako yang diuntungkan ketika harga beras turun. Jadi ketika terjadi market crash, dan itu memang akan terus terjadi dari waktu ke waktu, maka jangan panik ataupun bersedih. Bagi Berkshire, itu adalah kabar bagus!

5. Karena adanya batasan-batasan akibat faktor akuntansi, maka laporan keuangan kami mungkin hanya menampilkan sedikit saja dari kinerja kami yang sebenarnya. Karena alasan itulah, saya dan Charlie, baik sebagai pemegang saham maupun fund manager di Berkshire, hampir sepenuhnya mengabaikan angka-angka yang ditampilkan di laporan keuangan Berkshire. Meski demikian kami juga melaporkan kepada anda mengenai kinerja dan perolehan laba bersih dari perusahaan-perusahaan yang kami miliki, dan kami berharap bahwa hal tersebut dapat membantu anda dalam membuat penilaian terhadap kinerja investasi kami.

Singkatnya, melalui annual letter, kami setiap tahunnya akan selalu memberi kabar kepada anda tentang angka-angka dan informasi lain yang kami anggap penting. Saya dan Charlie sangat memperhatikan perkembangan bisnis dari perusahaan-perusahaan yang kami miliki, termasuk memperhatikan lingkungan/sektor dimana perusahaan kami beroperasi. Contohnya: Apakah perusahaan kami berada dalam posisi sebagai perintis di industrinya, ataukah cuma ikut-ikutan perusahaan lain yang sudah lebih dulu sukses? Saya dan Charlie perlu mengetahui dalam situasi yang mana perusahaan kami berada, untuk kemudian menyesuaikan ekspektasi kami terhadap pertumbuhan perusahaan perusahaan. Dan ketika kami memperoleh kesimpulan terkait hal ini, maka kami akan menyampaikannya kepada anda.

Sejauh ini, sebagian besar dari perusahaan-perusahaan yang kami beli telah mencatat kinerja yang lebih baik dibanding ekspektasi. Tapi tentu, terkadang kami juga harus menghadapi kekecewaan. Dan kami berusaha untuk menyampaikan seluruh pengalaman investasi kami kepada anda, baik pengalaman yang baik maupun buruk, secara terbuka dan sejujur mungkin.

6. Faktor akuntansi tidak berpengaruh terhadap kinerja operasional kami maupun jumlah alokasi dana dalam setiap pembelian saham. Untuk dua buah perusahaan yang dijual pada harga yang sama, kami lebih suka mengakuisisi perusahaan yang melaporkan laba US$ 2 per saham, meskipun laba tersebut tidak atau belum tercermin di laporan keuangan, ketimbang perusahaan yang melaporkan laba US$ 1 per saham di laporan keuangannya. Kami harus melakukan ini karena seringkali sebuah perusahaan, meski pada harga yang semurah-murahnya, namun tetap dijual pada harga dua kali lipat nilai aset bersih perusahaannya (PBV-nya 2 kali). Namun kami berharap bahwa setelah beberapa waktu tertentu, laba bersih perusahaan yang belum terlapor dalam laporan keuangan perusahaan pada akhirnya nanti akan terlapor juga, dan bahwa nilai aset bersih perusahaan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya akumulasi laba perusahaan (dalam bentuk saldo laba).

Kami telah belajar dari pengalaman bahwa laba bersih yang belum tercermin di laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan yang kami miliki, secara keseluruhan, adalah sama menguntungkannya dengan laba bersih yang sudah diterima perusahaan tersebut. Hal ini adalah karena perusahaan-perusahaan kami bergerak di bidang usaha yang luar biasa baik dan mudah dipahami, dimana mereka dapat memberdayakan modal yang mereka miliki secara maksimal, entah itu dengan cara mendirikan pabrik dll, atau untuk membeli kembali saham mereka di pasar (buy back).

Sudah tentu, tidak semua keputusan investasi yang kami lakukan sukses menghasilkan keuntungan, dimana ada juga perusahaan kami yang gagal mencetak laba, padahal kami membelinya pada harga yang lebih tinggi dari nilai buku perusahaan (PBV-nya lebih dari 1 kali). Namun secara keseluruhan kami memperoleh keuntungan lebih dari satu Dollar untuk setiap Dollar yang kami keluarkan (untuk membeli saham perusahaan).

7. Kami menggunakan hutang secara hati-hati. Ketika kami meminjam sejumlah dana entah itu ke bank atau lainnya, maka kami berusaha untuk memperoleh pinjaman jangka panjang dengan tingkat bunga yang tetap. Jika kami menemukan peluang investasi namun kami tidak memiliki dana, maka kami akan memilih untuk mengabaikan peluang tersebut ketimbang membuat neraca Berkshire menjadi dipenuhi oleh hutang. Metode konservatif ini telah membatasi kinerja investasi kami selama ini, namun hanya dengan cara inilah kami bisa tidur tenang di malam hari.

Metode perhitungan keuangan yang saya dan Charlie lakukan tidak memungkinkan kami untuk mencoba meraih keuntungan ekstra sebanyak sekian persen dari investasi kami dalam waktu semalam. Saya tidak mau mengambil risiko dan mempertaruhkan apa yang kami punya, untuk mengejar sesuatu yang sejak awal tidak kami miliki dan juga tidak kami butuhkan.

Selain itu, Berkshire memiliki akses ke dua sumber dana murah, yang memungkinkan kami untuk memiliki lebih banyak aset ketimbang modal yang tersedia, yakni: pajak tangguhan, dan ‘float’, yaitu premi yang dibayarkan oleh para nasabah di perusahaan-perusahaan asuransi kami, yang belum dibayarkan ke mereka kembali karena mereka belum mengajukan klaim kerugian. Jumlah dana yang tersedia di dua sumber tersebut terus meningkat tajam dari tahun ke tahun, dan saat ini nilainya sudah mencapai US$ 135 milyar.

Lebih baik lagi, dana yang berasal dari dua sumber tadi nyaris bebas biaya. Pajak tangguhan tidak menanggung beban bunga, dan selama kami bisa menutup beban underwriting dalam bisnis asuransi kami, maka biaya untuk dana yang berasal dari ‘float’ juga nol. Sementara jika kami memiliki hutang, maka itu adalah hutang-hutang yang tanpa syarat dan juga tanpa tanggal jatuh tempo. Alhasil, semua ini memberikan kami peluang untuk membeli lebih banyak saham/perusahaan, sekaligus menawarkan risiko yang sangat rendah jika ternyata kami keliru dalam membeli saham-saham tertentu.

8. ‘Daftar keinginan’ para direktur/manajer di Berkshire tidak akan menjadi bagian dari biaya perusahaan.

Saya dan Charlie hanya tertarik untuk mengakuisisi perusahaan, dan terus meningkatkan nilai intrinsik dari saham Berkshire. Sementara bayaran yang kami terima sebagai pengelola perusahaan, sampai kapanpun, tidak akan sampai menyebabkan penurunan dari nilai aset bersih Berkshire.

9. Kami senantiasa mengecek hasil kinerja investasi kami secara berkala dari waktu ke waktu. Kami terus menguji hipotesa tentang apakah kami memperoleh aset senilai minimal US$ 1 untuk setiap US$ 1 yang kami keluarkan (untuk membeli saham). Hingga saat ini, hipotesa tersebut masih berlaku.

10. Kami  akan menerbitkan saham baru hanya jika kami bisa memperoleh nilai dana yang setara dengan nilai saham yang kami berikan kepada pemegang saham. Dan peraturan ini berlaku untuk semua kegiatan bisnis kami, tidak hanya ketika kami melakukan merger, penawaran saham ke publik, tapi juga ketika kami mengkonversi kewajiban menjadi saham, mengeksekusi opsi saham, dan seterusnya.

11. Terlepas dari kenaikan atau penurunan harga sahamnya di pasar, kami sama sekali tidak pernah tertarik untuk menjual perusahaan bagus yang dimiliki oleh Berkshire, bahkan meski ini berarti bahwa kinerja keuangan kami bisa terganggu ketika harga-harga saham turun. Kami juga tidak berminat untuk menjual anak-anak usaha yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang kami pegang, selama anak-anak usaha tersebut mampu menghasilkan keuntungan tunai, dan selama para manajer serta pekerja disana bekerja dengan baik.

Kami selalu menghindari metode investasi dengan cara berpindah-pindah dari memegang satu perusahaan ke perusahaan lain. Memang, pada pertengahan tahun 1980-an lalu, kami pada akhirnya menutup bisnis tekstil yang dimiliki oleh Berkshire setelah kami berjuang untuk membuatnya menguntungkan (dan akhirnya tetap gagal) selama 20 tahun. Namun kami lebih suka berupaya untuk membantu manajemen perusahaan jika perusahaan itu tidak mampu menghasilkan keuntungan, ketimbang segera menjualnya. Kebijakan ini, pada akhirnya dalam jangka panjang tetap menguntungkan bagi Berkshire.

12. Kami akan senantiasa jujur dalam setiap pelaporan tentang kinerja investasi kami. Kami juga percaya bahwa keterus terangan akan menguntungkan kami sebagai pengelola perusahaan: Para CEO yang mencoba menyesatkan seseorang dengan informasi yang keliru, pada akhirnya dia akan menyesatkan dirinya sendiri.

13. Meski kami berusaha untuk jujur dan terbuka, namun informasi mengenai kegiatan kami dalam membeli atau menjual saham-saham tertentu hanya akan disampaikan sebatas yang diperintahkan oleh hukum pasar modal Amerika (karena Berkshire adalah perusahaan publik). Sebab, ide investasi (ide untuk membeli saham/perusahaan tertentu) merupakan sesuatu yang langka dan berharga. Karena itulah kami jarang mau bicara soal saham-saham apa saja yang akan kami beli, meski pada waktu-waktu tertentu kami tentu bersedia untuk membicarakannya. Kebijakan ‘tutup mulut’ ini juga berlaku untuk saham-saham yang kami jual (karena mungkin kami akan membelinya kembali), atau saham-saham yang beredar rumor bahwa kami akan membelinya. Jika beredar rumor bahwa kami akan membeli saham A, atau menjual saham B, maka kami akan menjawabnya: ‘No comment!’, dan itu adalah jawaban terakhir yang akan kami berikan.

Meski kami akan sebisa mungkin tutup mulut soal rencana kami untuk membeli atau menjual saham tertentu, namun kami terbuka untuk berbicara soal metode dan filosofi investasi kami. Selama ini saya telah sangat diuntungkan oleh kemurah hatian Ben Graham, guru terbesar sepanjang sejarah dunia keuangan, yang telah mengajarkan kepada saya tentang value investing. Dan saya merasa bahwa tidak ada ruginya jika saya menyampaikan kembali kepada orang-orang tentang apa yang sudah saya pelajari dari beliau, bahkan jika itu menyebabkan munculnya investor-investor handal yang bisa menjadi pesaing bagi Berkshire dimasa depan, seperti yang memang pernah terjadi pada diri Ben Graham sendiri dimana seluruh murid-muridnya (termasuk saya) mendirikan perusahaan investasi milik mereka masing-masing.

14. Sedapat mungkin, kami berharap bahwa setiap pemegang saham Berkshire menghasilkan keuntungan atau kerugian, terhitung sejak ia membeli saham perusahaan, yang sejalan dengan kenaikan atau penurunan nilai intrinsik perusahaan pada rentang waktu yang sama. Karena itulah, saya dan Charlie berharap bahwa harga saham Berkshire di market akan senantiasa setara atau mencerminkan nilai intrinsiknya, alias nilai wajarnya, tidak kurang (undervalue) dan tidak lebih (overvalue). Kami lebih suka melihat saham Berkshire berada pada level harga yang memang seharusnya, ketimbang pada level yang terlalu tinggi. Sudah tentu, saya dan Charlie tidak bisa mengendalikan pergerakan harga saham Berkshire di pasar. Namun melalui berbagai kebijakan serta komunikasi yang kami lakukan dengan para pemegang saham, kami berharap bahwa hal itu akan membuat harga saham Berkshire menjadi stabil di level wajarnya, dan tidak volatile.

Kebijakan kami ini mungkin terdengar tidak menyenangkan bagi sebagian pemegang saham Berkshire, terutama mereka yang berharap bisa membeli saham Berkshire di harga rendah, kemudian menjualnya di harga tinggi. Namun kami berharap bahwa hal ini bisa menarik minat dari para investor untuk berinvestasi jangka panjang di saham Berkshire, dimana mereka akan diuntungkan dari perkembangan/pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang, dan bukannya malah dirugikan gara-gara keliru membeli saham Berkshire pada harga yang terlalu tinggi.

15. Kami secara rutin membandingkan kinerja investasi kami, yakni peningkatan nilai buku per saham Berkshire setiap tahunnya, dengan kenaikan/penurunan indeks S&P 500 di tahun yang sama. Setelah waktu tertentu, kami berharap bahwa rata-rata kinerja tahunan kami lebih baik dibanding rata-rata kinerja S&P 500. Jika tidak, lalu ngapain juga anda harus berinvestasi di Berkshire? Namun selama 49 tahun terakhir, kami memiliki tahun-tahun tertentu dimana kinerja kami lebih rendah dibanding kinerja indeks, dan itu tidak bisa dihindari. Hingga saat ini, kami masih terus berharap bahwa kinerja kami akan mengalahkan indeks pada tahun-tahun dimana pasar bergerak stagnan atau turun, dan akan tampak biasa-biasa saja pada tahun-tahun dimana pasar bergerak naik secara signifikan.
Warren E. Buffett,
28 Februari 2014


Well, so what do you think? Kalau menurut penulis sendiri, beberapa prinsip investasi Buffett diatas bisa kita tiru, namun beberapa lagi tidak. Contohnya, penulis tidak akan bisa menggunakan uang ‘float’, karena saya nggak memiliki perusahaan asuransi. However, mudah-mudahan ketiga belas prinsip diatas bisa menjadi panduan anda dalam berinvestasi di pasar saham. Ingat sekali lagi bahwa yang menulis prinsip-prinsip diatas adalah Warren Buffett sendiri, dan bukan orang lain yang menulis buku berdasarkan ‘menurut Warren Buffett’ atau semacamnya.

Catatan: Penulis belum memperoleh izin dari manajemen Berkshire Hathaway untuk meng-copy paste tulisan diatas ke dalam Bahasa Indonesia, karena bingung juga bagaimana cara minta izinnya. Meski demikian penulis yakin bahwa mereka tidak akan keberatan karena ini adalah untuk kepentingan bersama. Tapi jika nanti terjadi sesuatu maka mungkin artikel ini akan dihapus.

Kamis, 22 Mei 2014

Indofood Sukses Makmur

Analisis Saham Independen


Posted: 22 May 2014 04:32 AM PDT
Indofood Sukses Makmur (INDF), seperti yang anda ketahui merupakan perusahaan makanan terbesar di Indonesia, bahkan salah satu yang terbesar di dunia, dengan variasi produk mulai dari minyak goreng, margarin, tepung terigu, mi instan, makanan ringan, sirup, makanan bernutrisi, penyedap rasa, susu, dan gula. Melalui anak usahanya yakni Salim Ivomas Pratama (SIMP), INDF juga merupakan perusahaan perkebunan terbesar di dunia dari sisi luas lahannya yang mencapai 483 ribu hektar. Jadi yap, INDF ini memang besar sekali. Tapi penulis cukup terkejut ketika membaca laporan tahunan perusahaan, dimana INDF ini ternyata masih terus berekspansi untuk menjadi lebih besar lagi. Terakhir, perusahan milik Grup Salim ini sudah melebarkan sayapnya hingga ke Tiongkok, dengan mengakuisisi China Minzhong Food Corp., sebuah perusahaan pengolahan sayuran.

Meski Grup Salim sejak dulu sudah dikenal sebagai pionir di bidang makanan di Indonesia dengan mendirikan pabrik tepung terigu (dibawah bendera PT Bogasari) pada tahun 1974, dan kemudian menciptakan mie instan legendaris, yaitu Indomie, pada tahun 1982, namun geliat mereka di industri makanan baru benar-benar terasa setelah krisis moneter 1998. Pasca krisis, Grup Salim memutuskan untuk fokus membesarkan bisnis makanan, yang seluruhnya diletakkan dibawah bendera PT Indofood Sukses Makmur. Sejak awal tahun 2000-an, INDF telah masuk ke bidang usaha produksi minyak goreng, margarin, susu, makanan bernutrisi, gula, kecap, dan penyedap makanan. Sebelumnya pada tahun 1997, Grup Salim juga mulai masuk ke bidang usaha perkebunan kelapa sawit, minyak goreng, dan margarin, dimana usaha-usaha ini juga seluruhnya diletakkan dibawah INDF, melalui SIMP.

Logo Indofood dengan slogan barunya, 'The Symbol of Quality Goods' (menggantikan 'Lambang makanan bermutu')
Kemudian setelah sempat ‘libur’ selama beberapa tahun, pada tahun 2007 INDF kembali menambah portofolio perkebunannya, termasuk mengakuisisi PT London Sumatera (LSIP) yang kemudian dijadikan sebagai anak usaha dari SIMP. Tahun 2008, INDF masuk ke bisnis perkebunan tebu dengan mengakuisisi PT Lajuperdana Indah, dan mengakuisisi perusahaan susu, PT Indolakto (produsen susu merk Indomilk). Tahun 2010, INDF mendirikan PT Indofood CBP (ICBP) untuk dijadikan holdingdari anak-anak usahanya yang bergerak di bidang consumer brand products (termasuk Indomie) dan meng-IPO-kannya ke bursa. Dan setahun berikutnya yakni tahun 2011, giliran SIMP yang menggelar IPO. Dari dua IPO-nya tersebut, Grup Indofood meraup dana segar tak kurang dari Rp10 trilyun, yang kemudian digunakan untuk melanjutkan ekspansi.

Dan ekspansi tersebut tidak butuh waktu lama untuk segera dieksekusi. Pada tahun 2012, INDF melalui ICBP mengadakan kerja sama dengan Grup Asahi asal Jepang untuk memasuki bisnis minuman non alkohol di Indonesia, dengan mendirikan dua perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang produksi dan distribusi minuman. Kerjasama Indofood-Asahi ini pada saat ini sudah membuahkan hasil, dimana anda bisa dengan mudah menemukan minuman teh merk ‘Ichi Ocha’ di supermarket dan pasar swalayan. Diluar itu, masih melalui ICBP, INDF juga memasuki bisnis pembuatan mayones, jaringan restoran, hingga produksi krim untuk pembuatan kue, rata-rata dengan bekerja sama juga dengan perusahaan Jepang.

Terakhir, sepanjang tahun 2013 kemarin, INDF mulai ‘go international’ dengan mengakuisisi Companhia Mineira de Açúcare Álcool Participações (susah amat bacanya), sebuah perusahaan gula di Brazil, mengakuisisi Roxas Holding, perusahaan gula terbesar di Filipina, dan mengakuisisi China Minzhong Food Corp., perusahaan budidaya dan pengolahan sayuran di Tiongkok yang sahamnya terdaftar di Bursa Singapura. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang ditempatkan dibawah ICBP atau SIMP, perusahaan-perusahaan overseas diatas dipegang langsung oleh INDF, atau melalui Indofood Agri, anak usahanya yang terdaftar di Bursa Singapura. Selain itu, INDF juga telah menyelesaikan akuisisi atas seluruh saham PT Pepsi-Cola Indobeverages (yang kemudian berubah nama menjadi PT Prima Cahaya Indobeverages).

Hufftt.. Okay, udah selesai? Ternyata belum! Pada tahun 2014 ini, melalui SIMP dan ICBP (melalui LSIP boleh dibilang gak ada ekspansi apa-apa karena LSIP ini cuma ‘cucu usaha’), INDF masih punya segudang rencana ekspansi usaha, terutama karena dua anak usahanya tersebut masih memegang dana cash yang besar hasil IPO-nya dulu (per Kuartal I 2014, SIMP memegang cash Rp2.2 trilyun, sementara ICBP Rp6.3 trilyun). Model bisnis perusahaan yang banyak bermain di fast moving consumer goods, menyebabkan INDF, terutama melalui ICBP, selalu memiliki cash yang besar untuk diputar kembali. Sehingga wajar jika ekspansi lebih banyak dilakukan melalui ICBP (pada awal tahun 2014, ICBP mengakuisisi air minum dalam kemasan dengan merk ‘Club’). Meski demikian SIMP juga banyak melakukan ekspansi terutama dengan cara menanami lahan perkebunan yang sudah diakuisisi sebelumnya, dengan tanaman kelapa sawit, karet, tebu, hingga teh, dan mendirikan pabrik-pabrik untuk mengolah CPO menjadi minyak goreng dan margarin.

Bimoli dan Palmia, merk minyak goreng dan margarin andalan Indofood
Sementara INDF-nya sendiri, setelah tahun kemarin sukses mengakuisisi China Minzhong, maka kedepannya perusahaan akan kembali mengakuisisi perusahaan lainnya lagi jika memang ada kesempatan, tapi pihak manajemen memang nggak mau cerita apapun. Diluar itu, pasar Indomie kini bahkan sudah menjangkau hingga Maroko dan Kazakhstan. Jadi yah, prospek jangka panjangnya memang menarik sekali, karena pihak manajemen tidak pernah berhenti bekerja untuk membesarkan perusahaan, selain karena INDF sendiri sejak awal sudah merupakan perusahaan makanan terbesar dan termapan di tanah air.

Berikut adalah beberapa poin yang menyebabkan INDF ini layak investasi terutama jika anda merupakan investor besar (atau mewakili investor institusi) yang nggak mau invest di saham-saham ecek-ecek dan nggak jelas.

  1. INDF memiliki sejarah yang panjang dan positif sejak tahun 1970-an sebagai perusahaan makanan paling terkemuka di tanah air, dimana INDF sejauh ini senantiasa bertumbuh dan tidak pernah mengalami peristiwa buruk bahkan ketika terjadi krisis moneter 1998.
  2. INDF dipimpin langsung oleh pemilik perusahaan, Bapak Anthoni Salim, yang menempati posisi sebagai direktur utama. Kalau anda perhatikan perusahaan besar lain yang dimiliki oleh grup-grup besar, jarang ada owner perusahaan yang mau duduk di jajaran pengurus perusahaan. Contohnya di perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie, anda jangan harap menemukan nama Aburizal atau Nirwan Bakrie dijajaran direksi atau komisaris perusahaan. Padahal kalau pake contoh Warren Buffett, investor besar ini juga ambil bagian dengan menjadi direktur dari perusahaan-perusahaan yang ia beli/akuisisi, atau dengan kata lain, ia tidak keberatan untuk turun langsung mengelola perusahaan.
  3. Untuk efisiensi kinerja, INDF juga memiliki unit-unit usaha di bidang distribusi termasuk memiliki beberapa unit kapal untuk logistik. Grup Salim juga sebenarnya memiliki banyak perusahaan di bidang ritel, sehingga untuk membuat Indomie, misalnya, Grup Salim sudah menguasai semuanya, mulai dari bahan baku tepung terigu, pabriknya, distribusinya, hingga toko-tokok yang menjual Indomie-nya, itu semua milik mereka sendiri (Indomaret dan SuperIndo itu juga milik Grup Salim). Namun hanya unit-unit usaha distribusi yang diletakkan dibawah INDF.
  4. Return on Equity (ROE) perusahaan senantiasa terjaga di level 20% setiap tahunnya, padahal ekuitas INDF naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir (terutama sejak IPO dua anak usahanya, ICBP dan SIMP). Tahun 2013 kemarin laba perusahaan memang turun karena penurunan harga CPO, dan alhasil ROE-nya juga turun, tapi ditahun-tahun yang lain, termasuk tahun 2014 ini, ROE tersebut tetap berada di level  diatas 20%
  5. Perusahaan rutin membayar dividen dalam jumlah wajar setiap tahunnya, yakni sekitar separuh laba bersih yang diperoleh perusahaan di tahun yang bersangkutan, dan ini menunjukkan manajemen yang berpihak kepada investor. Nilai dividen itu sendiri terus naik dari Rp45 per saham di tahun 2008, menjadi Rp142 untuk tahun buku 2013.

Kalau anda perhatikan, dengan PER 10.9 dan PBV 2.5 kali pada harga saham 6,775, maka INDF adalah salah satu saham blue chip di bursa yang pada saat ini memang sedang berada pada level harga wajarnya. Saham INDF sendiri cenderung bergerak stagnan selama setahun terakhir di rentang 6,500 dan 7,500 (INDF pernah turun hingga dibawah 6,000 pada Agustus 2013 ketika terjadi koreksi hebat pada IHSG, namun langsung naik lagi), dan itu adalah karena kinerja perusahaan sepanjang tahun 2013 masih turun akibat penurunan kinerja dari anak-anak usahanya dibidang perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya, karena turunnya harga CPO. Pada tahun 2012 INDF mencatat laba bersih Rp3.3 trilyun, yang turun menjadi Rp2.5 trilyun pada tahun 2013. Namun karena sejak awal valuasi INDF tidak terlalu mahal untuk ukuran saham blue chip, maka sahamnya pun juga nggak lantas anjlok karenanya.

Kabar baiknya, INDF mengawali tahun 2014 ini dengan cukup baik dimana labanya kembali naik menjadi Rp1.4 trilyun pada Kuartal I 2014, berbanding Rp722 trilyun pada periode yang sama tahun 2013, atau naik 90.1%. Kenaikan tersebut tentu saja disumbang oleh bisnis perkebunan kelapa sawit yang mulai kembali sukses menghasilkan laba yang besar setelah harga CPO mulai naik lagi (selain karena volume produksi CPO milik SIMP dan LSIP juga naik terus). Jika trend kenaikan ini terus berjalan maka jelas INDF sangat menarik untuk diperhatikan, selain karena mulai tahun ini INDF memperoleh tambahan pendapatan dari China Minzhong dimana pada tahun 2013 lalu pendapatan tersebut belum ada, dan itu belum termasuk potensi tambahan pendapatan dari ekspansi-ekspansi lainnya yang sedang dan akan dilakukan perusahaan.

However, kalau ada satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah posisi utang INDF yang pada saat ini sudah cukup besar. Berbagai ekspansi yang dilakukan perusahaan selama beberapa tahun terakhir tentu saja membutuhkan dana yang besar, sehingga perusahaan memutuskan untuk melepas ICBP dan SIMP ke bursa saham untuk memperoleh dana total Rp10 trilyun, tapi bahkan itu masih belum cukup. Jadi INDF juga mengambil utang bank jangka panjang, serta yang terbaru, perusahaan kembali menerbitkan obligasi senilai Rp2 trilyun untuk melunasi obligasi sebelumnya. Pada Kuartal I 2014, total liabilitas INDF tercatat Rp42 trilyun, cukup besar dibanding nilai ekuitas perusahaan sebesar Rp24 trilyun. Kalau kita belajar lagi sejarahnya, Grup Salim sukses mempertahankan INDF ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 namun terpaksa melepas Bank BCA (BBCA) dan Indocement (INTP), karena mereka menanggung utang yang cukup banyak namun INDF ini tidak termasuk perusahaan yang menanggung utang tersebut.

Tapi saat ini kondisinya jelas sudah berbeda, dimana jumlah utang INDF tidak bisa lagi dikatakan sedikit. Om Anton mungkin punya pandangan sendiri soal ini, dimana INDF saat ini memiliki banyak anak-anak perusahaan yang beroperasi diluar negeri dan itu menurunkan risiko bisnis karena penurunan nilai tukar Rupiah, karena perusahaan-perusahaan tersebut membukukan pendapatan dan labanya dalam mata uang di negaranya masing-masing (seperti China Minzhong, yang membukukan labanya dalam mata uang Renminbi/RMB), sementara kita tahu bahwa krisis moneter 1998 terjadi karena pelemahan Rupiah secara tiba-tiba dari Rp2,500 menjadi 15,000 per US Dollar. Tapi tetap saja, hal ini tetap perlu diperhatikan jika anda berminat untuk menjadi pemegang saham perusahaan.

Anyway, terkait harga ideal untuk sahamnya, seperti yang penulis katakan diatas, posisi INDF pada saat ini terbilang wajar, jadi kalau anda mau ‘mengakuisisi’-nya maka tunggu hingga harganya murah dulu, let say direntang 6,000 – 6,500 dimana INDF sangat mungkin turun hingga ke posisi tersebut jika IHSG nanti turun, kemudian selanjutnya anda bisa duduk santai menunggu dia naik sendiri. Target 9,000 bagi INDF ini terbilang realistis untuk jangka waktu 2 – 3 tahun kedepan, dengan catatan perusahaan mampu mengelola utang-utangnya dengan baik. Risiko penurunan kinerja karena penurunan harga CPO untuk saat ini praktis sudah sangat kecil mengingat harga CPO itu sendiri sudah rendah, selain karena trend-nya mulai bergerak naik setelah harga CPO ‘istirahat’ selama dua tahun terakhir.

Kemudian jika ada pertanyaan, apakah lebih baik masuk ke INDF ini ataukah anak usahanya saja? Seperti ICBP, SIMP, atau LSIP? Maka jawabannya adalah, anda harus lihat valuasinya. Saat ini dari sisi PBV, saham SIMP merupakan yang termurah diantara semuanya, namun itu karena SIMP memiliki tingkat profitabilitas yang rendah sejauh ini karena masih banyak dari aset perkebunannya yang belum menghasilkan (dari nyaris setengah juta hektar lahan perkebunan milik SIMP, baru separuhnya yang sudah ditanam), selain karena margin dari jualan minyak goreng dan margarin ternyata lebih kecil dari menjual CPO langsung (anak usaha SIMP, yakni LSIP, hanya menjual CPO). Kalau dilihat dari kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, atau istilahnya earnings power-nya, maka ICBP dan LSIP adalah pilihan yang terbaik, namun harganya pun premium. Jadi kalau mau ambil tengah-tengahnya saja, maka anda mungkin bisa ambil INDF ini saja, tentunya jika anda bisa masuk di harga yang ideal.

Pada pertengahan tahun 2012, INDF cukup lama tertahan di 4,500-an (sekitar delapan bulan), padahal itu adalah harga yang cukup murah dengan PBV kurang dari 2.0 kali (ingat bahwa INDF ini saham blue chip tulen, yang tidak bisa dihargai terlalu rendah). Dan sekarang, atau hampir dua tahun kemudian, INDF sudah berada di level 6,500 – 7,000, atau naik sekitar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa kalau kita beli saham bagus di harga murah, maka meski terkadang perlu menunggu cukup lama, namun toh saham tersebut pada akhirnya akan naik juga. Kabar baiknya, untuk saat ini masih belum terlambat untuk masuk ke INDF jika tujuannya adalah untuk investasi jangka panjang, let say untuk 2 – 3 tahun kedepan.

PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk
Rating Kinerja pada Q1 2014: A
Rating Saham pada 6,775: A

NB: Penulis menyelenggarakan seminar/training value investing di Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 21 Juni 2014. Keterangan selengkapnya baca disini.

Senin, 19 Mei 2014

Jokowi - JK: Confirmed!

Analisis Saham Independen


Posted: 19 May 2014 09:22 AM PDT
Salah satu isu terpenting setelah majunya Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden adalah tentang siapa tokoh yang akan dipilih sebagai calon wakil presidennya. Dan setelah berkali-kali ditunda, hari ini akhirnya diumumkan bahwa tokoh tersebut adalah Jusuf Kalla atau JK. Kebetulan, jika melihat track recordnya yang sangat baik selama menjadi wakil presiden RI pada periode 2004 – 2009, JK adalah tokoh yang memang diinginkan oleh pasar. Alhasil sejak jumat kemarin dan juga berlanjut pada hari ini, IHSG melompat naik dan sekarang sudah berada di level 5,000-an kembali. Pertanyaannya tentu saja, what’s next?

Pada artikel berjudul Jokowi, ARB, atau Prabowo?, penulis mengatakan bahwa dari tiga calon presiden yang ada, hanya Jokowi yang kemungkinan akan membawa dampak positif bagi pasar saham termasuk IHSG andaikata ia yang terpilih sebagai Presiden. However, perolehan suara PDI-P di Pemilu Legislatif yang tidak sampai 20% menyebabkan Jokowi harus berkoalisi dengan partai-partai lain, yang itu berarti Jokowi tidak bisa memilih wakil presidennya sendiri, seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memilih Boediono sebagai wakil presiden di tahun 2009. Masalahnya tentu, bagaimana jika wakil presiden itu merupakan figur yang tidak disukai pasar? Termasuk, beberapa waktu lalu sempat mencuat isu bahwa wakil presiden tersebut adalah Puan Maharani, atau bahkan Aburizal Bakrie (yang setelah menyadari bahwa elektabilitasnya rendah, ARB kini tidak keberatan kalau hanya jadi cawapres).

Tapi untunglah, akhirnya tetap JK yang terpilih, meski itu artinya yang bersangkutan harus keluar dari Golkar karena ARB sebagai Ketua Umum Golkar secara jelas menyatakan bahwa Partai Golkar hanya boleh mendukung dirinya entah sebagai capres ataupun cawapres.

Sekilas, pasangan Jokowi-JK ini akan menang mudah bahkan meski tidak memperoleh dukungan dari partai besar yang satunya lagi, yakni Golkar. Namun ancaman terbesar tentu datang dari pasangan capres-cawapres yang satunya lagi: Prabowo – Hatta. Kalau anda perhatikan, terlepas dari Hatta Radjasa yang tampaknya bukan siapa-siapa, elektabilitas Prabowo terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini, dan itu bukan tanpa alasan. Salah satu masalah pada kubu Jokowi adalah fakta bahwa berbeda dengan Prabowo yang merupakan orang nomor satu di Partainya, Jokowi hanyalah seorang kader partai di PDI-P, dimana posisinya jauh dibawah pimpinan partai, yakni Megawati.

Dan bisakah anda bayangkan, Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden yang masih punya pimpinan lagi diatasnya? Setelah keluar dari Golkar, JK otomatis bukan lagi bawahan dari ARB atau siapapun, sehingga ia merupakan pihak yang independen. Sementara Jokowi? Well, beliau adalah, suka atau tidak, merupakan bawahan dari Megawati. Penulis pribadi tidak begitu peduli soal ini, namun bagi beberapa orang, ini adalah masalah yang tidak bisa diabaikan. Ada banyak pendukung Jokowi yang kemudian pindah mendukung Prabowo setelah Megawati sendiri menegaskan bahwa Jokowi hanyalah seorang ‘petugas partai.’

Sementara Prabowo, dari berbagai kampanyenya jelas menunjukkan bahwa ia adalah calon Presiden yang kuat, berwibawa, dan tidak bisa diatur-atur oleh siapapun. Dan bagi sebagian orang ini adalah kriteria pemimpin yang ideal, yang justru tidak ada pada diri Jokowi.

Intinya sih, hasil Pilpres pada Juli (jadinya Juli, bukan September) nanti sama sekali tidak bisa diprediksi dimana Prabowo jelas masih memiliki peluang, tinggal bagaimana ia dan timnya mampu memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk kampanye dll. Pasangan capres-cawapres yang satunya lagi, yakni ARB – Pramono Edhie (jika memang jadi dimajukan), mungkin saja bisa menjadi faktor penentu dimana jika Pilpres-nya berlangsung dua putaran, maka peluang Jokowi akan menjadi lebih kecil lagi jika ARB kemudian bergabung dengan kubu Prabowo (dan kemungkinannya memang demikian, sebab jika dilihat dari sejarahnya, Golkar sulit sekali berkoalisi dengan PDI-P, sementara Prabowo dulunya adalah kader Golkar).

Lalu bagaimana dengan IHSG?

Setelah JK resmi menjadi cawapres bagi Jokowi, asing kembali berebut masuk ke bursa, sehingga jumlah dana asing yang masuk ke BEI pada saat ini sudah menembus Rp40 trilyun, atau terbesar sepanjang sejarah mengingat jumlah dana asing terbesar yang masuk ke pasar saham Indonesia adalah Rp32.6 trilyun pada tahun 2007, dan faktanya sekarang baru bulan Mei. Hal ini tentu menimbulkan sedikit kekhawatiran karena kalau asing ini keluar separuhnya saja, maka IHSG dalam jangka pendek akan langsung turun. IHSG sendiri sejauh ini sudah naik 18% dihitung sejak awal tahun 2014, atau tertinggi sejak kenaikan 46.1% pada tahun 2010. Jadi yap, pada saat ini pasar memang sedang dalam kondisi yang optimis dalam menyambut calon pemimpin baru.

Tapi bagaimana kedepannya? Atau paling tidak hingga akhir tahun 2014 ini? Diluar faktor euforia Pilpres, yang mungkin bisa kita cermati adalah bahwa pada Kuartal I 2014 kemarin, perusahaan-perusahaan papan atas di BEI (saham-saham bluechip) mencatatkan kinerja yang terbilang baik meski pada tahun 2013 lalu Indonesia dihantui oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sementara dua sektor yang menjadi primadona pasar di masa lalu namun justru menjadi penghambat kenaikan IHSG dalam dua tahun terakhir, yakni sektor tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit, pada tahun 2014 ini mulai menunjukkan perbaikan, dan saham-saham batubara sejauh ini juga mulai bergerak naik menyusul saham-saham perkebunan kelapa sawit yang sudah naik sebelumnya. Kemudian sektor properti, meski kinerjanya banyak yang turun pada awal tahun 2014 ini, namun karena sejak awal saham-saham di sektor ini rata-rata masih murah, maka hal ini tidak menyebabkan saham-saham properti menjadi turun (sektor properti sejak awal tahun 2014 sudah naik 32.3%, tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya). Dan sektor konstruksi, kinerjanya pada tahun 2014 ini relatif masih baik, dan ditambah dengan outlook jangka panjangnya yang juga masih baik seiring dengan banyaknya proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia, maka alhasil saham-saham di sektor ini juga langsung naik lagi (tapi mereka jadinya mahal lagi).

Kesimpulannya, terlepas dari euforia Pilpres yang lagi ramai belakangan ini, kinerja para emiten memang mendukung IHSG untuk naik tinggi, dan memang IHSG, seperti sudah disebut diatas, sejauh ini sudah naik 18% sejak awal tahun. Untuk naik lebih tinggi lagi sebenarnya mungkin saja, mengingat euforia Pilpres yang terjadi pada saat ini kemungkinan akan bertahan hingga Pilpres-nya itu sendiri digelar pada Juli nanti, apalagi jika Jokowi akhirnya benar-benar terpilih sebagai Presiden.

Namun secara historis, IHSG selalu mengalami koreksi minimal setahun sekali dimana bulan Mei dan seterusnya merupakan periode yang rawan terjadi koreksi tersebut. Kalau pada tahun 2010 dan 2012 koreksi IHSG terjadi pada bulan Mei, maka pada tahun 2011 koreksi tersebut terjadi pada bulan Agustus, dan pada tahun 2013 terjadi pada bulan Juni. Tahun 2014 ini mungkin akan jadi pengecualian dimana cerita ‘Sell in May and Go Away’ ternyata tidak terjadi, tapi itu berarti pertanyaan selanjutnya adalah, kapan koreksi tersebut akan terjadi?

Tapi kapanpun koreksi itu akan terjadi, atau malah tidak terjadi sama sekali, namun itu seharusnya tidak jadi masalah karena toh pada akhirnya indeks akan terus naik dalam jangka panjang. Namun satu hal yang mungkin perlu dicatat disini adalah, disadari atau tidak, Pemerintahan Presiden SBY sepanjang 10 tahun terakhir (2004 – 2014) telah sukses membawa IHSG untuk naik hingga lima kali lipat, dari 1,000-an pada awal tahun 2004 menjadi sekarang sudah tembus 5,000-an, dimana kenaikan tersebut memang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, dan itu bahkan sudah termasuk periode krisis tahun 2008. Dan penulis kira akan sulit bagi Presiden berikutnya nanti, entah itu Jokowi ataupun Prabowo, untuk bisa mencatatkan prestasi yang serupa dengan membawa IHSG naik hingga 400% dalam sepuluh tahun. Jangan salah, berbagai kinerja cemerlang yang dicapai oleh Astra International dkk, itu semua tidak akan terealisasi jika kondisi perekonomian nasional itu sendiri morat marit bukan?

Nah, sebenarnya untuk minggu ini penulis hendak menulis analisis saham atau materi edukasi investasi seperti biasa, namun cerita soal Pilpres ini memang terlalu menarik untuk tidak dibicarakan termasuk oleh kita semua sebagai investor saham. So, dengan ini penulis hendak melakukan survei kecil, dimana anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Menurut anda siapa yang akan memenangkan Pilpres nanti? Apakah Jokowi atau Prabowo? Atau malah ARB?
  2. Kemudian, bagaimana kira-kira reaksi pasar terhadap kemenangan Jokowi/Prabowo?
  3. Dan dalam jangka panjang, let say lima tahun kedepan, bagaimana kira-kira kinerja presiden baru kita nanti terhadap perekonomian nasional?
Update: Di saat-saat terakhir, Golkar resmi merapat ke Gerindra! Dengan demikian Pilpres mendatang bisa dipastikan akan menjadi pertarungan antara Jokowi vs Prabowo saja, dan kali ini kekuatan kedua kubu cenderung imbang, bahkan Prabowo sedikit lebih unggul karena didukung oleh enam parpol, sementara Jokowi hanya empat. Well, semakin seru saudara-saudara!

Buku kumpulan analisis saham kuartalan edisi Kuartal I 2014 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.