by Teguh Hidayat
Hingga Selasa, 26 April kemarin, IHSG ditutup di posisi 4,814, atau secara keseluruhan naik 4.8% sejak awal tahun, namun indeks sektor tambang, termasuk tambang batubara, tercatat naik lebih tinggi yakni 20.5%. Penyebab kenaikan saham-saham batubara sebenarnya cukup jelas: Rebound-nya harga minyak, yang dua bulan lalu sempat nyungsep hingga US$ 27 per barel, tapi sekarang sudah naik menjadi US$ 42. Namun disisi lain, barusan salah perusahaan batubara yakni United Tractors (UNTR), sudah merilis laporan keuangannya untuk periode Kuartal I 2016, dan labanya masih anjlok 55.3%. Sementara perusahaan batubara lainnya, Resource Alam Indonesia (KKGI), labanya sukses naik namun hanya karena adanya keuntungan kurs, sementara pendapatannya masih turun.
Selain sektor mining, sektor yang juga mencatat kinerja lebih baik dari IHSG adalah sektor perkebunan kelapa sawit, dimana indeks sektor perkebunan tercatat sudah naik 6.1%. Namun berbeda dengan perusahaan batubara, perusahaan perkebunan sekilas tampak menyajikan fundamental yang lebih baik, dimana Astra Agro Lestari (AALI) mencatat kenaikan laba 167.5% (meski perlu dicatat pula bahwa pendapatannya masih turun). Nah, kita tahu bahwa dua sektor ini, yakni sektor tambang dan perkebunan, di masa lalu sempat menjadi sektor primadona para investor di bursa efek ketika harga batubara crude palm oil (CPO) sedang tinggi-tingginya, sebelum trend penurunan harga komoditas sejak tahun 2012 turut menyeret saham-saham batubara dan CPO ke dasar jurang.
Namun setelah hampir empat tahun turun terus, barulah belakangan ini saham-saham komoditas, terutama batubara, tampak kembali menjanjikan dimana beberapa saham batubara bahkan sudah naik ratusan persen. Pertanyaannya, apakah kenaikan tersebut selaras dengan fundamental perusahaan?
Sayangnya, jawabannya mungkin tidak. Seperti yang sudah disebut diatas, saham-saham batubara bisa naik tinggi karena harga minyak rebound, karena adanya anggapan bahwa kalau harga minyak naik, maka harga batubara juga biasanya akan ikut naik. Namun berdasarkan data dari IndexMundi.com, harga batubara jenis Australian Thermal Coal untuk pengiriman Maret 2016 tercatat US$ 55.9 per ton, atau masih lebih rendah dibanding bulan yang sama di tahun sebelumnya yakni US$ 64.4 per ton. Sementara berdasarkan data operasional milik UNTR, disebutkan bahwa volume penjualan batubara perusahaan pada Kuartal I 2016 naik 2% dibanding tahun lalu, namun pendapatannya tetap turun 11% karena penurunan harga jual.
However, jika dikatakan bahwa harga batubara sudah mencapai titik terendahnya, maka itu mungkin ada benarnya. Pada Januari kemarin, harga batubara tercatat US$ 53.4 per ton, sebelum kemudian naik tipis ke posisi sekarang (US$ 55.9 per ton). Sementara kalau kita mengambil pendapat dari manajemen UNTR, mereka mengatakan bahwa harga batubara akan berada di kisaran US$ 52 – 72 per ton dalam lima tahun kedepan terhitung mulai tahun 2016 ini. Intinya, meski harga batubara mungkin gak akan sampai balik lagi ke level US$ 120 per ton seperti pada tahun 2011 lalu, namun dia juga tidak akan turun lebih rendah lagi. Pada akhirnya, batubara tetap dibutuhkan untuk pembangkit listrik di seluruh dunia, dan penurunan harganya selama beberapa tahun terakhir ini lebih karena ketidak sinkronan antara supply and demand, entah itu karena perlambatan ekonomi di China atau lainnya. Tapi kalau nanti supply dan demand itu akhirnya ketemu, dan kemungkinan ketemunya memang di level harga US$ 50-an, maka ketika itulah harga batubara akan berhenti turun, lalu selanjutnya perlahan tapi pasti dia akan naik kembali.
Namun berhubung harga batubara belum benar-benar naik (lebih tepat jika dikatakan baru berhenti turun saja), dan kinerja sebagian emiten batubara untuk awal tahun 2016 ini juga masih belum kinclong kembali, maka suka atau tidak, saham-saham batubara masih belum layak untuk invest, setidaknya untuk sekarang ini. Tapi mari kita berharap bahwa beberapa emiten lain, seperti Indo Tambangraya (ITMG), Adaro Energy (ADRO), Harum Energy (HRUM), hingga Bukit Asam (PTBA), mereka semua mencatatkan kinerja yang lebih baik. Karena kalau melihat valuasinya sih, saham-saham tersebut masih murah-murah semuanya, bahkan meski kemarin mereka sudah naik banyak.
Lalu bagaimana dengan saham CPO?
Berbeda dengan harga batubara yang masih belum benar-benar naik, harga CPO di Bursa Malaysia terakhir tercatat RM2,662 per ton, naik cukup signifikan dibanding setahunan lalu di level RM1,900 – 2,000 per ton. Namun soal bagaimana dampak kenaikan harga ini terhadap kinerja emiten perkebunan di Kuartal I 2016, maka kita mungkin masih perlu beberapa hari lagi (deadline dirilisnya laporan keuangan adalah tanggal 30 April). Tapi kalau melihat contoh AALI, maka sepertinya kenaikan harga CPO belum berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, setidaknya untuk tiga bulan pertama di tahun 2016. Tapi jika harga CPO minimal bisa bertahan di posisinya saat ini, maka untuk tahun 2016 ini secara keseluruhan, para perusahaan perkebunan seharusnya akan sukses membukukan kenaikan profit kembali.
Kesimpulannya, terkait saham-saham komoditas ini maka penulis bisa katakan bahwa, kalau berdasarkan kaidah value investing, maka kita sebaiknya amati saja dulu tapi jangan buru-buru masuk. Dari sisi valuasi, saham-saham di sektor ini sudah gila-gilaan murahnya, tapi kita masih perlu tunggu konfirmasi kinerja dari tiap-tiap perusahaan,just to make sure. Jika nanti para emiten batubara dan CPO kembali sukses membukukan ROE katakanlah 20%, maka sahamnya akan dengan mudah terbang, bahkan meski mereka sudah naik banyak sebelumnya. Jika anda pikir bahwa kenaikan hingga 100 – 200% yang dialami saham-saham batubara dalam beberapa minggu terakhir tampak luar biasa, maka jangan lupa bahwa di tahun 2011, saham Garda Tujuh Buana (GTBO) pernah naik dari 100 perak hingga sempat menembus 6,000, atau naik 60 kali lipat,hanya dalam waktu satu setengah tahun!
Jika anda punya pendapat sendiri tentang bagaimana prospek saham-saham batubara dan CPO kedepannya, entah itu dalam jangka panjang maupun pendek, anda bisa menulisnya di kolom komentar dibawah.
Buletin Analisis IHSG & Rekomendasi Saham Bulanan edisi Mei 2016 akan terbit tanggal 1 Mei mendatang (disitu juga akan dibahas soal isu ‘sell in may and go away’, apakah benar itu akan terjadi, atau cuma mitos). Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi portofolio/tanya jawab saham untuk member, langsung dengan penulis.
|
Portfolio Saham
buy on weakness,be greedy when others are fearful, be fearful when others greedy, buy what you know and know what you buy
Rabu, 27 April 2016
Prospek Saham Komoditas
Selasa, 16 Februari 2016
Posisi Bursa Saham Indonesia di Regional Asia Tenggara
By Teguh Hidayat
Kemarin ada berita bahwa Bank Central Asia (BBCA) telah mengambil alih posisi Development Bank of Singapore (DBS) sebagai bank terbesar di Asia Tenggara, dari sisi market cap. Dan berdasarkan pengalaman, ketika sebuah perusahaan sudah memperoleh titel ‘terbesar’ entah itu dari sisi market cap, nilai aset, atau nilai ekuitas, it must mean something. Apalagi sebelumnya jarang terdengar ada perusahaan Indonesia yang mampu ‘mengalahkan’ perusahaan Singapura, dimana dalam hal perkembangan pasar modal, diakui atau tidak, kita masih kalah jauh dibanding tetangga kecil nan menjengkelkan tersebut. Dan mungkin pertanyaannya, sebenarnya bagaimana sih posisi saham-saham Indonesia di regional Asia Tenggara?
Dari sisi market cap atau kapitalisasi pasar, pada penutupan pasar tanggal 12 Februari kemarin, BBCA memiliki market cap USD 24.1 milyar, atau lebih besar dari DBS yang hanya USD 23.3 milyar. Mengingat bahwa market cap bisa berubah setiap saat tergantung naik turunnya saham, maka data diatas mungkin tidak berarti apa-apa, dimana jika besok-besok saham DBS kembali naik, maka BBCA akan kembali ke posisinya sebagai bank terbesar kedua di Asia Tenggara. Namun fakta lainnya yang menarik adalah, dalam lima tahun terakhir, saham BBCA sudah naik 115.9%, sementara DBS justru turun 10.8%. I mean, dalam jangka pendek, pergerakan harga suatu saham dan juga perubahan market cap mungkin tidak berarti apapun. Tapi jika suatu saham naik signifikan setelah lima tahun, sementara saham lainnya justru turun pada periode waktu yang sama, maka pasti terdapat perbedaan fundamental yang signifikan dari dua perusahaaan yang bersangkutan.
Dan ternyata memang benar: Antara akhir 31 Desember 2010 hingga 30 September 2015, ekuitas BBCA meningkat dari Rp34.1 menjadi 86.0 trilyun, atau naik 152%. Sementara DBS? Pada periode waktu yang sama, ekuitasnya naik dari SGD 26.6 menjadi 39.4 milyar, atau hanya naik 48%. Okay, dari sisi aset serta ekuitas, DBS masih jauh lebih besar dibanding BBCA, dan faktanya BBCA sendiri bukanlah bank terbesar di Indonesia kalau dari sisi nilai aset (yang terbesar itu Bank Mandiri, disusul Bank BRI, kemudian baru BCA).
Tapi dari sisi pertumbuhan, well, dalam beberapa tahun terakhir ini kita menang jauh, dimana tidak hanya BBCA, tapi bank-bank besar lainnya di tanah air juga rata-rata mencatat pertumbuhan sekitar 150% dalam lima tahun. Sementara pertumbuhan DBS yang terbilang moderat memang mencerminkan pertumbuhan industri perbankan di Singapura secara keseluruhan, dimana dua bank besar lainnya di Singapura yakni Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) dan United Overseas Bank (UOB), pada periode yang sama, ekuitas mereka masing-masing hanya tumbuh 79.6 dan 40.7%.
Tapi btw, balik lagi ke pertanyaan diatas: Sebenarnya bagaimana posisi saham-saham Indonesia di regional Asia Tenggara? Well, berikut ini adalah data 10 saham terbesar dari sisi market cap, yang terdaftar di bursa-bursa saham Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand:
Companies
|
Closing Price
|
Market Cap
|
Singapore (SGX)
| ||
SingTel
|
3.56
|
40.8
|
Jardine Matheson
|
53.23
|
37.9
|
Jardine Strategic
|
27.92
|
30.8
|
DBS Group
|
13.02
|
23.3
|
OCBC
|
7.46
|
22.0
|
UOB
|
17.56
|
20.2
|
Hongkong Land
|
5.62
|
13.2
|
Wilmar International
|
2.91
|
13.2
|
IHH Healthcare
|
2.11
|
12.4
|
Thai Beverage
|
0.68
|
12.1
|
Indonesia (IDX)
| ||
HM Sampoerna
|
105,700
|
36.5
|
Telkom Indonesia
|
3,285
|
24.6
|
BCA
|
13,275
|
24.1
|
Unilever Indonesia
|
41,100
|
23.3
|
BRI
|
11,800
|
21.4
|
Astra International
|
6,825
|
20.5
|
Bank Mandiri
|
9,725
|
16.7
|
Gudang Garam
|
60,700
|
8.7
|
BNI
|
5,275
|
7.2
|
Indofood CBP
|
14,725
|
6.4
|
Malaysia (BursaMalaysia)
| ||
Maybank
|
8.51
|
20.0
|
Public Bank
|
18.50
|
17.2
|
Petronas Chemicals
|
6.90
|
13.3
|
IHH Healthcare
|
6.49
|
12.9
|
Axiata Group
|
5.60
|
11.9
|
Maxis
|
6.06
|
11.0
|
Petronas Gas
|
22.24
|
10.6
|
DiGi.com
|
4.85
|
9.1
|
CIMB Group
|
4.20
|
8.6
|
IOI Corporation
|
4.67
|
7.1
|
Thailand (SET)
| ||
PTT
|
230
|
18.4
|
Siam Cement
|
426
|
14.4
|
Advanced Info Service
|
166.5
|
13.9
|
Siam Commercial Bank
|
130
|
12.4
|
Kasikornbank
|
161
|
10.8
|
CP ALL
|
40.3
|
10.2
|
Bangkok Bank
|
148
|
7.9
|
Krung Thai Bank
|
17.2
|
6.7
|
PTT Global Chemical
|
51.5
|
6.5
|
Bank of Ayudhya
|
30.3
|
6.2
|
Catatan:
- Closing price/harga penutupan adalah per 12 Februari 2016
- Market cap dalam milyar US Dollar.
- Closing price dalam mata uang di negara masing-masing, kecuali Jardine Matheson, Jardine Strategic, dan Hongkong Land dalam mata uang US Dollar
- IHH Healthcare bermarkas di Malaysia, namun sahamnya terdaftar di Bursa Malaysia dan Singapura sekaligus (dual listing)
- Thai Beverage bermarkas di Thailand, namun sahamnya terdaftar di Bursa Singapura
- Kurs yang digunakan untuk perhitungan market cap (per US Dollar): Singaporean Dollar 1.40, Rupiah 13,471, Malaysian Ringgit 4.15, dan Thailand Baht 35.62.
- Saham dengan market cap terbesar di Singapura adalah Prudential Plc., kemudian baru disusul SingTel. Namun Prudential Plc, yang juga listing di Bursa London, sahamnya yang di Singapura sama sekali tidak likuid, sehingga jarang dianggap sebagai salah satu big caps di SGX.
Dan jika dari daftar diatas diambil lima belas saham terbesar dari sisi market cap, maka berikut hasilnya (market cap dalam milyar US Dollar):
Companies
|
Country
|
Market Cap
|
SingTel
|
Singapore
|
40.84
|
Jardine Matheson
|
Singapore
|
37.89
|
HM Sampoerna
|
Indonesia
|
36.52
|
Jardine Strategic
|
Singapore
|
30.79
|
Telkom Indonesia
|
Indonesia
|
24.57
|
BCA
|
Indonesia
|
24.05
|
Unilever Indonesia
|
Indonesia
|
23.31
|
DBS Group
|
Singapore
|
23.29
|
OCBC
|
Singapore
|
21.96
|
BRI
|
Indonesia
|
21.38
|
Astra International
|
Indonesia
|
20.49
|
UOB
|
Singapore
|
20.20
|
Maybank
|
Malaysia
|
20.02
|
PTT
|
Thailand
|
18.44
|
Public Bank Bhd
|
Malaysia
|
17.21
|
Catatan: Perusahaan-perusahaan diatas bisa disebut sebagai lima belas perusahaan terbesar di Asia Tenggara (jadi gak cuma Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand), dari sisi market cap. Hal ini karena tiga perusahaan terbesar di Vietnam, yakni Vinamilk, Vietcom Bank, dan Petro Vietnam, ketiganya hanya memiliki market cap masing-masing sekitar US$ 5 milyar atau kurang dari itu. Sementara bursa-bursa saham di negara-negara lainnya di Asia Tenggara, semuanya relatif masih belum berkembang.
IDX versus SGX
Dari data diatas, maka cukup jelas bahwa posisi pasar modal kita relatif lebih baik dibanding Malaysia dan Thailand, setidaknya dari sisi market cap, namun masih kalah dari Singapura. Dan disinilah menariknya: Dengan GDP sebesar USD 889 milyar, maka Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, jauh lebih besar dibanding Singapura yang cuma punya GDP USD 308 milyar. Namun dari sisi nilai saham-sahamnya di pasar modal, per tanggal 12 Februari, seluruh saham-saham yang terdaftar di IDX memiliki market cap total Rp5,005 trilyun, atau setara USD 371 milyar. Sementara SGX? Per akhir Januari 2016, market cap-nya tercatat SGD 855 milyar, atau setara USD 612 milyar.
Tapi bagaimana mungkin nilai saham-saham di Bursa Singapura bahkan lebih besar dibanding nilai GDP negaranya sendiri? Well, jawabannya ada dua. Pertama, Singapura sejak dulu sudah dikenal sebagai tempat yang sangat uenak untuk berinvestasi, dimana Pemerintahnya sangat ramah terhadap pemilik modal baik dari dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1961, empat tahun sebelum merdeka dari Malaysia, Pemerintah Singapura bahkan sudah mendirikan badan khusus dibawah Kementerian Perdagangan dan Industri, yang dinamakan Economic Development Board (EDB), yang bertugas untuk memberikan solusi dan menciptakan value bagi investor dan perusahaan-perusahaan di Singapura. Mungkin founding father Singapura, Lee Kuan Yew, sejak awal sadar bahwa dengan luas negara yang sama sekali tidak seberapa, maka Singapura tidak mungkin bisa mengembangkan perekonomiannya sendiri tanpa bantuan modal asing, dan karena itulah para investor dimanjakan habis-habisan dengan kebijakan tax haven dll, termasuk Bursa Singapura dikembangkan sedemikian rupa sehingga ada banyak perusahaan kelas dunia yang tertarik untuk listing disana. Beberapa perusahaan besar yang listing di SGX, seperti Jardine Matheson, IHH Healthcare, dan Thai Beverage, mereka sebenarnya tidak berkantor pusat di Singapura. Tapi alih-alih listing di negara asalnya, ketiga perusahaan tersebut lebih memilih untuk listing di SGX (atau dual listing seperti IHH Healthcare, yang juga terdaftar di Bursa Malaysia). Termasuk, ada banyak juga perusahaan asal Indonesia yang sahamnya tidak terdaftar di IDX namun terdaftar di SGX.
Dan kedua, didukung oleh modal yang boleh dibilang tidak terbatas (karena investasi dari seluruh dunia masuk terus), perusahaan-perusahaan asal Singapura kemudian bisa mengembangkan usaha/investasinya tidak cuma di Singapura, tapi justru lebih banyak di negara-negara lain, paling tidak di Asia Tenggara. Misalnya DBS, OCBC, dan UOB, yang ketiganya punya operasional di Indonesia, atau SingTel yang menjadi salah satu pemegang utama di Telkomsel, perusahaan seluler terbesar di tanah air, dan Jardine Matheson juga merupakan pemegang saham mayoritas di Astra International (ASII). Boleh dibilang bahwa Singapura ini adalah seperti pengelola dana bagi investor-investor besar di seluruh dunia (termasuk dari Indonesia sendiri) yang hendak menempatkan aset/investasinya di Asia Tenggara atau bahkan di seluruh Asia.
Jadi jika ada investor besar asal Amerika yang tertarik untuk berinvestasi di Asia Tenggara, maka nama Singapura selalu muncul lebih awal, kemudian mungkin baru Jakarta. Dan meski hal ini terkesan tidak adil bagi Indonesia, namun di kawasan manapun di seluruh dunia memang selalu terdapat kota-kota (atau negara kecil) yang menjadi financial center seperti itu, seperti London di Britania Raya, Zurich di Eropa, New York di Amerika Utara, dan Hong Kong di Asia. Di Swiss, market cap bursa sahamnya tercatat USD 1,516 milyar pada tahun lalu, padahal GDP negaranya cuma USD 701 milyar.
Namun mau sekencang apapun pertumbuhan bursa saham di suatu negara, pada akhirnya pertumbuhan investasi di negara tersebut akan terhambat entah itu oleh ‘mentoknya’ pertumbuhan GDP maupun terbatasnya sumber daya manusia. Contoh paling gampang adalah Bursa Hang Seng di Hongkong, yang begitu digdaya di masa lalu, namun posisinya sebagai bursa saham terbesar di Asia (setelah Nikkei), sekarang ini sudah digantikan oleh Bursa Shanghai, yang tumbuh jauh lebih signifikan dalam dua dekade terakhir. Tidak ada perlakuan khusus dari Pemerintah China terhadap bursa sahamnya, melainkan bursa tersebut tumbuh seiring dengan kenaikan GDP China itu sendiri.
Sementara Bursa Singapura, dalam hal ini Indeks STI, meski market cap-nya hingga saat ini masih jauh diatas IHSG, namun dalam lima tahun terakhir IHSG naik 34.6%, sementra STI malah turun 17.7%. Pada akhir tahun 2009, IDX mencatat total market cap Rp801 trilyun, atau setara USD 215 milyar berdasarkan kurs ketika itu. Sementara SGX, pada waktu yang sama mencatat market cap SGD 669 milyar, atau setara USD 476 milyar. Ini artinya dalam lima tahun terakhir nilai saham-saham di BEI naik 72.9%, sementara nilai saham-saham di Singapura hanya naik 28.3%, sudah termasuk disesuaikan dengan nilai Rupiah (yang memang cenderung lebih gampang melemah dibanding SGD). Jika masa waktunya diperpanjang hingga satu atau dua dekade ke belakang, maka kesimpulannya juga tetap sama: Bursa saham di Indonesia berkembang lebih cepat dibanding Singapura.
Dan jika trend-nya begini terus, maka cuma soal waktu sebelum IDX akan mengambil alih posisi SGX sebagai bursa saham terbesar di Asia Tenggara, dan peluang tersebut memang terbuka lebar. I mean, ketika perusahaan-perusahaan Singapura berinvestasi/membuka kantor cabang di luar negaranya, maka aktivitas operasional mereka tentu saja dibatasi oleh peraturan-peraturan tertentu yang tidak berlaku bagi perusahaan setempat, dan karena itulah DBS dll tidak akan pernah menjadi bank terbesar di Indonesia atau di negara-negara lainnya dimana mereka beroperasi. Sementara Bank BCA? Well, dia tidak perlu buka kantor cabang di luar negeri (meski BCA sekarang punya kantor cabang di Singapura dan Hongkong), karena di Indonesia sendiri masih ada banyak wilayah yang belum tersentuh layanan perbankan, dan perluasan layanan perbankan ini selama beberapa waktu terakhir ini memang signifikan. Di kampung halaman penulis di pinggir kota Cirebon, sepuluh tahun lalu, sangat sulit untuk menemukan mesin ATM, tapi sekarang mesin ATM itu dapat ditemukan dimana-mana.
Jadi perusahaan-perusahaan di Indonesia masih punya banyak sekali ruang untuk berkembang di negaranya sendiri sebelum kemudian baru mereka perlu ekspansi keluar negeri, sehingga praktis IDX akan lebih mudah tumbuh untuk menjadi lebih besar lagi. Jika Pemerintah atau Bursa Efek Indonesia (BEI) itu sendiri bisa copy paste beberapa kebijakan SGX dalam mengembangkan pasar modal di Singapura, seperti:
- Mendorong perusahaan-perusahaan asing untuk listing di BEI, atau dual listing (di Indonesia dan di negaranya), dengan menawarkan kemudahan-kemudahan tertentu. Jika ini sulit dilakukan, maka minimal perusahaan-perusahaan Indonesia yang listing di Singapura bisa diarahkan untuk juga listing di BEI
- Membuka keran masuknya investasi asing dimana mereka bisa membeli saham-saham dari perusahaan asing tersebut (jadi asing ketemu asing).
- Menciptakan dan mengembangkan produk-produk investasi/trading diluar saham dan obligasi, seperti indeks futures (yang memang sudah dibikin), exchange traded funds (ETF, ini juga sudah ada, tapi belum populer), real estate investment trust (REIT), business trust, structured warrants, dll.
..Maka pasar modal di Indonesia akan tumbuh lebih kencang lagi di masa depan. Kebijakan diatas mungkin terdengar liberal, termasuk mungkin bisa menimbulkan efek samping persaingan bagi investor/perusahaan lokal dan kemungkinan berkembangnya spekulasi, namun nyatanya itulah yang dilakukan oleh beberapa negara financial center seperti Singapura, Hongkong, dan Swiss, dan alhasil tidak hanya pasar modalnya, namun ekonomi mereka maju pesat secara keseluruhan. Kalau hanya mengharapkan investor dan perusahaan domestik untuk ‘meramaikan’ pasar modal, maka untuk proses edukasinya saja mungkin perlu waktu beberapa dekade. Kalau anda perhatikan pergerakan Bursa Shanghai yang sangat ekstrim, dimana dia bisa terbang dan jeblok gila-gilaan dalam waktu singkat, kemungkinan itu karena market participant terbesarnya ya investor di dalam negerinya sendiri, yang mindsetnya masih ke gambling ketimbang investasi.
Tapi, okay, katakanlah pasar modal di Indonesia berkembang dengan sendirinya tanpa perlakukan khusus apapun dari Pemerintah maupun otoritas terkait, maka bagaimana peluangnya di masa yang akan datang? Well, seperti yang sudah disebut diatas, bahkan tanpa Pemerintah memberikan stimulus apapun, namun cuma soal waktu sebelum IDX akan menyalip SGX sebagai bursa saham terbesar di Asia Tenggara, dan sinyal pertama akan hal itu adalah ketika market cap BBCA sudah lebih besar dari DBS.
Dan bagi fund-fund besar asal Amerika dll, ketika mereka berinvestasi di Asia Tenggara, maka sudah tentu mereka akan memilih ‘yang terbesar’ terlebih dahulu, sementara disisi lain cukup jelas bahwa Bursa Singapura sama sekali tidak menawarkan profit yang layak dalam lima tahun terakhir. Jadi dalam hal inilah, penulis kira dalam waktu dekat kita akan melihat dana asing akan ramai-ramai masuk ke saham-saham di BEI. Hingga tanggal 12 Februari, asing baru mencatatkan net buy Rp1.5 trilyun, atau masih sangat kecil dan sama sekali belum menutup net sell sebesar Rp22.6 trilyun sepanjang tahun 2015 lalu. Jika kedepannya asing belanja hingga menutup net sell yang Rp22.6 trilyun ini saja, maka IHSG tentu akan naik signifikan (actually, di website ini kita sudah mengatakan bahwa IHSG akan naik bahkan ketika dia masih terpuruk, awal Januari lalu. Anda bisa baca lagi artikelnya disini). We’ll see.
Ebook Analisis Kuartal IV 2015 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.
Jadwal Seminar: Tema Value Investing: Buy at Lowest Price, Sell at Highest. Hotel NEO Tendean, Jakarta Selatan, Sabtu 20 Februari 2016. Untuk mendaftar klik disini. Hingga Senin, 15 Februari, masih tersedia kursi untuk 9 peserta lagi.
Kamis, 11 Februari 2016
CEO Google Kantongi Bonus Rp 2,5 Triliun
Bos Google Sundar Pichai tampaknya akan sumringah
dalam beberapa hari belakangan. Bagaimana tidak? CEO dari salah satu perusahaan
teknologi terbesar dunia ini mendapat bonus bernilai fantastis.
Melansir laman Business Insider, Rabu
(10/2/2016), Pichai mendapat bonus berupa saham senilai US$ 183 juta atau
setara dengan Rp 2,5 triliun yang akan diberikan dalam kurun waktu empat tahun.
Bonus yang ia terima ini merupakan bonus terbesar yang pernah diterima oleh
jajaran eksekutif di Google.
Pichai menduduki kursi CEO Google pada bulan Oktober
setelah perusahaan tersebut merekstrukturisasi manajemen perusahaan dan
menambah anak perusahaan baru bernama Alphabet Holding Company.
Alphabet merupakan anak perusahaan Google yang
berfokus pada cabang bisnis lain seperti pelayanan internet berkecepatan
tinggi, google fiber dan peralatan rumah tangga. Besarnya bonus yang didapat
menunjukkan seberapa penting keberadaan Pichai di perusahaan tersebut.
Sesuai dengan dokumen SEC yang dikeluarkan pada Jumat
lalu, Pichai dihadiahi 273.328 lembar saham yang akan diberikan selama empat
tahun.
Besaran ini merupakan hadiah terbesar yang diterima
oleh CEO Google. CEO google sebelumnya, Eric Schmidt mendapatkan saham senilai
US$ 100 juta yang didapat pada tahun 2011 dan 2014. (Vna/Ndw)
Rabu, 10 Februari 2016
MARI GO PUBLIC
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Mahaka Radio Integra (Persero) Tbk memiliki kesempatan untuk menjadi grup radio pertama di Indonesia yang mencatatkan sahamnya di bursa Indonesia dengan kode MARI di perdagangan Bursa Efek Indonesia.
Pencatatan saham perdana perseroan ini dilakukan setelah melakukan penawaran umum perdana saham pada 2-4 Februari 2016, yaitu sejumlah 105.052.900 saham biasa atas nama, atau sebesar 20 persen dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah penawaran umum perdana saham. Saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat dengan harga penawaran sebesar Rp 750.
Dari hasil penawaran umum perdana saham tersebut, perseroan memperoleh sekitar Rp 51 miliar yang merupakan hasil dari penawaran umum saham baru. Sekitar 40 persen dari dana yang diperoleh perseroan akan digunakan untuk pembayaran atas sebagian utang entitas anak ke bank, dan sekitar 60 persen akan digunakan untuk pengembangan usaha dan atau investasi baru perseroan.
Komisaris Utama Perseroan, Erick Thohir mengatakan, MARI memiliki kinerja yang baik, dengan margin EBITDA di atas 40 persen dan margin laba bersih di atas 30 persen, yang menunjukkan profitabilitas perseroan yang relatif tinggi.
"Kami optimis akan membagikan dividen hingga 50 persen, melihat dari track record anak perusahaan MARI yang secara konsisten membagikan keuntungan dalam tiga tahun terakhir," kata Erick Thohir saat menghadiri pencatatan saham pertama MARI di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (11/2).
Presiden Direktur MARI, Adrian Syarkawie mengatakan, radio khususnya di Indonesia menjadi media yang tetap berkembang di tengah persaingan kategori media yang ada saat ini.
"Dari potensi ketiga radio yang dimiliki saat ini, MARI memiliki shareterbesar dengan angka 22 persen yaitu melebihi 3,2 juta pendengar," kata Adrian.
Adrian mengatakan, ke depannya MARI juga akan melakukan berbagai inovasi dalam pengembangan bisnis untuk menjawab perkembangan pola masyarakat terhadap konsumsi konten audio, khususnya di bidang digital.
"Hal ini sebagai komitmen atas penetapan visi MARI sebagai the first audio content provider di Indonesia," katanya.
Pencatatan saham perdana perseroan ini dilakukan setelah melakukan penawaran umum perdana saham pada 2-4 Februari 2016, yaitu sejumlah 105.052.900 saham biasa atas nama, atau sebesar 20 persen dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah penawaran umum perdana saham. Saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat dengan harga penawaran sebesar Rp 750.
Dari hasil penawaran umum perdana saham tersebut, perseroan memperoleh sekitar Rp 51 miliar yang merupakan hasil dari penawaran umum saham baru. Sekitar 40 persen dari dana yang diperoleh perseroan akan digunakan untuk pembayaran atas sebagian utang entitas anak ke bank, dan sekitar 60 persen akan digunakan untuk pengembangan usaha dan atau investasi baru perseroan.
Komisaris Utama Perseroan, Erick Thohir mengatakan, MARI memiliki kinerja yang baik, dengan margin EBITDA di atas 40 persen dan margin laba bersih di atas 30 persen, yang menunjukkan profitabilitas perseroan yang relatif tinggi.
"Kami optimis akan membagikan dividen hingga 50 persen, melihat dari track record anak perusahaan MARI yang secara konsisten membagikan keuntungan dalam tiga tahun terakhir," kata Erick Thohir saat menghadiri pencatatan saham pertama MARI di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (11/2).
Presiden Direktur MARI, Adrian Syarkawie mengatakan, radio khususnya di Indonesia menjadi media yang tetap berkembang di tengah persaingan kategori media yang ada saat ini.
"Dari potensi ketiga radio yang dimiliki saat ini, MARI memiliki shareterbesar dengan angka 22 persen yaitu melebihi 3,2 juta pendengar," kata Adrian.
Adrian mengatakan, ke depannya MARI juga akan melakukan berbagai inovasi dalam pengembangan bisnis untuk menjawab perkembangan pola masyarakat terhadap konsumsi konten audio, khususnya di bidang digital.
"Hal ini sebagai komitmen atas penetapan visi MARI sebagai the first audio content provider di Indonesia," katanya.
Langganan:
Postingan (Atom)